MAKLUMAT – Kadin Jatim khawatir implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2028 bisa mengancam industri rokok. Di dalam PP ini mengatur tiga hal yang bisa mengancam kelangsungan industri hasil tembakau (IHT).
Ketiganya meliputi aturan kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan di sekitar satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan pembatasan iklan luar ruang.
“Kebijakan ini berpotensi merugikan pelaku usaha mulai dari yang besar hingga kecil,” kata Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto di sela Kadin Jatim Business Forum di Surabaya, Minggu (27/10/2024) malam.
Ia menambahkan bahwa dampak buruk dari PP 28/2024 ini bisa menyebabkan penurunan produksi. Bila ini terus terjadi, bukan tidak mungkin PHK massal bisa terjadi. Padahal, lanjut Adik, Jatim menjadi penyumbang cukai hasil tembakau terbesar di Indonesia.
“Industri rokok di Jatim merupakan sektor strategis, lantaran mampu memberi kontribusi terhadap penerimaan negara. Jatim menyumbang 65 persen atau sekitar Rp155 triliun, dari total penerimaan cukai nasional,” Adik menambahkan.
Kekuatan ini mencerminkan serapan tenaga kerja IHT, mulai dari hulu hingga hilir. Sebab tenaga kerja mencapai sekitar 2,3 juta atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja.
Adik meminta pemerintah lebih hati-hati agar tidak mereplikasi aturan dari negara maju. Ia mencontohkan Australia yang telah mengeluarkan aturan semua kemasan rokok tanpa merek.
“Australia bisa menerapkan karena tidak memiliki industri besar dan tidak punya petani tembakau. Berbeda dengan Indonesia, (terutama) rokok kretek sudah menjadi bagian dari warisan budaya,” terang Adik.
Kadin Jatim kahawatir aturan ini melebarkan peluang rokok ilegal. Sebab, peredaran rokok ilegal membuat IHT mengalami stagnasi produksi. Ditambah dengan fenomena munculnya downtrading atau peralihan konsumen membeli rokok yang lebih murah.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkaji dampak ekonomi dari penerbitan aturan anyar ini. Dalam siaran persnya, potensi ekonomi yang hilang sekitar Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari PDB.