MAKLUMAT – Perayaan Hari Guru Nasional yang jatuh setiap 25 November kembali diiringi jeritan panjang dari sekolah swasta. Skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS Daerah (BOSDA) dari pemerintah pusat maupun daerah dinilai masih jauh dari kata adil. Pasalnya, beban utama sekolah swasta, yakni menggaji guru, tidak terakomodasi secara proporsional.
Keluhan ini disuarakan tegas oleh sejumlah kepala sekolah Muhammadiyah di Jawa Timur. Mereka menuding, kebijakan pendanaan saat ini menciptakan ketimpangan finansial yang signifikan antara sekolah negeri dan swasta. Padahal sekolah swasta sudah berperan mencerdaskan bangsa jauh sebelum negara berdiri.
Beban Gaji Guru Jadi Jurang Pembeda
Kepala SMA Muhammadiyah 10 Surabaya, Salim Bahrisy, tanpa tedeng aling-aling menyebut pembagian BOS saat ini belum berpihak pada swasta. “Menurut saya masih belum adil. Seharusnya kami sekolah swasta mendapat jatah BOS jauh lebih besar dibanding sekolah negeri karena kami masih harus menggaji guru,” cetusnya kepada Maklumat.id, Senin (24/11). “Sedangkan sekolah negeri sudah tidak perlu menggaji guru.”
Salim menekankan, alokasi BOS untuk sekolah swasta yang harus menanggung gaji guru secara mandiri seharusnya menjadi pertimbangan krusial untuk menentukan besaran bantuan.
Namun, ia juga memberikan catatan penting: BOS tidak perlu dipaksakan masuk ke sekolah swasta “kelas atas” yang secara finansial sudah sangat mampu. “Khusus untuk sekolah-sekolah kalangan atas, menurut saya tidak perlu dipaksakan untuk menerima BOS, karena mereka sudah sangat mampu—baik dalam menggaji guru sesuai standar maupun dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur sekolah,” tegasnya.
BOSDA Dominan ke Negeri, Afirmasi Jadi Sorotan
Sorotan serupa datang dari Jember. Sony Bakhtiar, Kepala SMA Muhammadiyah 3 Jember, menilai BOSDA cenderung lebih dominan mengalir ke sekolah negeri. Lebih lanjut, Sony menautkan isu pendanaan ini dengan kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ia menyoroti langkah pemerintah memperluas kuota afirmasi siswa kurang mampu di sekolah negeri hingga 70 persen.
Menurut Sony, kuota afirmasi besar di negeri penting untuk membuka ruang bagi keluarga mampu untuk memilih sekolah swasta yang lebih kompetitif. Namun, negara harus benar-benar menjamin siswa kurang mampu yang tidak tertampung di negeri tetap dapat mengakses pendidikan di swasta tanpa biaya.
“Jika siswa tidak mampu tertampung di sekolah negeri lalu kesulitan menempuh pendidikan di sekolah swasta yang berbayar, di situlah negara dianggap belum hadir sepenuhnya,” tegas Sony. “Amanat konstitusi mengharuskan negara menjamin akses pendidikan bagi semua warga.”
Inpassing Ditutup, Kesejahteraan Guru Terancam
Di tengah polemik BOS, masalah kesejahteraan guru swasta juga menjadi isu genting. Kepala SD Muhammadiyah 7 Surabaya, Achmad Zainuri Arif, mengakui bahwa BOS pusat dan BOPDA Kota Surabaya sudah cukup membantu operasional. Namun, hal itu belum menyentuh inti masalah.
Arif mendesak pemerintah untuk membuka kembali program inpassing, yaitu penyetaraan jabatan dan golongan bagi guru non-PNS agar setara dengan guru PNS. “Pemerintah perlu membuka kembali program inpassing bagi guru swasta sehingga dapat meningkatkan insentif bagi guru-guru swasta,” jelas Arif.
Program inpassing sendiri sudah dihentikan pemerintah, dengan alasan biayanya besar namun hanya dinikmati sedikit guru, serta memunculkan potensi kecurangan administrasi. Pemerintah menggantinya dengan program sertifikasi. Namun, temuan Maklumat.id pada Mei 2025 menunjukkan program sertifikasi guru pun tidak luput dari sejumlah masalah.
Tuntutan dari sekolah-sekolah Muhammadiyah ini menjadi cerminan bahwa momentum Hari Guru Nasional bukan hanya seremonial. Tetapi menagih janji negara atas keadilan alokasi anggaran dan kesejahteraan bagi seluruh insan pendidik, baik di lingkungan negeri maupun swasta.***