MAKLUMAT — Tragedi yang terjadi dalam gelaran pesta pernikahan putra Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), di Pendopo Kabupaten Garut pada Jumat, 18 Juli 2025, bukanlah sekadar musibah biasa. Tiga nyawa melayang dan puluhan lainnya luka-luka. Ini adalah peristiwa tragis yang menjadi alarm keras atas kelalaian, lemahnya prosedur keselamatan, dan buruknya manajemen kerumunan dalam kegiatan publik—terlebih yang melibatkan pejabat negara.
Polda Jawa Barat kini mengambil alih penyelidikan. Sebanyak 11 orang saksi telah diperiksa, dan sejumlah pihak dari Pemkab Garut, vendor acara, panitia, hingga keluarga korban direncanakan akan dimintai klarifikasi. Proses hukum yang kini ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar menjadi ujian nyata atas integritas aparat penegak hukum. Penanganan perkara ini tidak boleh diskriminatif, meskipun melibatkan nama besar dalam peta politik Jawa Barat.
Fakta bahwa kedua mempelai berasal dari keluarga elite menambah beban moral aparat. Maulana Akbar Ahmad Habibie merupakan putra sulung KDM, sementara mempelai perempuan, Luthfianisa Putri Karlina, adalah putri sulung Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto. Persilangan dua keluarga berpengaruh ini menjadikan kasus ini penuh sorotan. Integritas Polda Jawa Barat kini diuji di hadapan publik.
Lebih pelik lagi, muncul kesaksian dari para korban luka bahwa Gubernur KDM diduga hadir dalam acara yang berujung maut tersebut. Hal ini bertentangan dengan pernyataan resmi KDM yang menyebut dirinya berada di luar kota pada saat kejadian. Beberapa media menyebut, korban luka seperti Syifa Fauziah, Tasya Aulia, dan Iyah Sadiah mengatakan sang gubernur di lokasi. Hal itu yang diduga memicu lonjakan massa yang ingin mendekat, sehingga menyebabkan kekacauan dan insiden terinjak-injak.
Jika kesaksian tersebut terbukti benar, maka penegakan hukum harus berani memanggil dan memeriksa KDM untuk memberikan klarifikasi resmi. Pernyataan sang gubernur di media sosial tak cukup dijadikan pegangan. Kebenaran harus diuji di ruang hukum, bukan hanya di ruang digital. Sebab hukum sejatinya tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau popularitas.
Tragedi ini juga membuka borok tata kelola acara publik. Pengadaan makanan gratis sebanyak 5.000 paket untuk massa yang diperkirakan dua kali lipatnya tanpa pengamanan ketat adalah bentuk nyata kelalaian. Kegiatan sebesar ini seharusnya dirancang dengan mitigasi risiko yang matang, protokol keselamatan yang ketat, serta keterlibatan aktif kepolisian dan satuan pengamanan sipil.
Publik berhak tahu: Siapa yang menginisiasi acara? Siapa penanggung jawab keamanan? Siapa event organizer pesta pernikahan ini? Semua pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan retorika atau klarifikasi sepihak. Hanya penyelidikan yang transparan dan tuntas yang mampu menjawab sekaligus menegakkan keadilan bagi para korban.
Kini, tanggung jawab besar ada di pundak Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Rudi Setiawan. Sang jenderal bukan tokoh biasa. Ia adalah pemegang gelar adat Pangiran Sangun Ratu Ya Bandar II, penyimbang ke-10 marga Legun Way Urang, sekaligus tokoh adat masyarakat Lampung. Gelar ini membawa harapan: bahwa Rudi Setiawan tidak sekadar menjalankan tugas sebagai perwira tinggi Polri, tetapi juga sebagai penjaga martabat dan keadilan.
Saatnya institusi kepolisian membuktikan bahwa mereka adalah pelindung masyarakat, bukan pelindung kekuasaan. Evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengamanan dalam kegiatan publik yang melibatkan pejabat harus segera dilakukan. Protokol standar dalam penyelenggaraan acara besar yang berpotensi mengundang massa wajib disusun dan diterapkan.
Pesta rakyat yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan justru berubah menjadi duka mendalam. Keluarga korban berhak atas keadilan, bukan hanya simpati. Pemerintah daerah dan aparat keamanan harus bertanggung jawab secara moral dan hukum.
Uji integritas aparat tengah dipertaruhkan. Jangan biarkan tragedi ini menjadi satu dari sekian banyak kasus yang menguap begitu saja. Sudah cukup rakyat menjadi korban dari euforia elite yang tak terkendali.***