MAKLUMAT — Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus mendorong peningkatan literasi bermutu lewat pendekatan sastra. Salah satunya melalui program Bedah Buku 2025 bertajuk “Di Balik Cerita”, yang digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (28/5/2025) lalu.
Acara ini menghadirkan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, Kepala BSKAP Toni Toharudin, Kepala Pusat Perbukuan Supriyatno, Ketua Komite Sastra DKJ Fadjriah Nurdiarsih, serta ratusan guru, siswa, dan komunitas literasi.
Dalam sambutannya, Wamen Atip menegaskan bahwa membaca adalah fondasi bangsa yang beradab. Ia membagikan pengalamannya tumbuh di kampung yang belum dialiri listrik, dan menjadikan bacaan sebagai satu-satunya jendela pengetahuan.
“Cerita itu bisa mengubah hidup. Saya membaca apa saja dari peninggalan kakak saya. Dari situlah saya belajar, cerita bukan sekadar hiburan, tapi kekuatan imajinasi,” ujar Atip.
Tahun ini, buku yang dibedah adalah “Lauk Daun” karya Hartari. Buku ini tidak hanya dinilai dari keindahan bahasa, tapi juga dikaji nilai-nilai sosial dan relevansi pembelajarannya di ruang kelas.
Pembahas buku, Shahnaz Haque, mendorong para siswa untuk mulai menulis sejak dini. Ia menyebut menulis sebagai latihan berpikir dan alat pengikat ilmu.
“Zaman saya dulu, menulis di buku harian itu biasa. Ternyata itu cara melatih nalar. Jangan buang emosi di medsos, tuangkan ke tulisan. Sastra itu mengasah logika dan rasa,” tegasnya.
Sementara itu, kurator Mahfud Ikhwan menyebut Lauk Daun cocok dibaca siswa karena naskahnya kuat dan isinya menyentuh realitas kehidupan. “Siswa bisa belajar banyak tentang hidup, pilihan, dan nilai-nilai sosial lewat buku ini,” katanya.
Ruang Temu Pendidikan dan Sastra
Kegiatan ini menjadi ruang temu lintas generasi dan profesi. Guru, siswa, penulis, kurator, hingga pegiat literasi saling berbagi pandangan tentang pentingnya sastra dalam pendidikan.
Susan Sri Kencana, guru Bahasa Indonesia SMAN 100 Jakarta, menyambut antusias acara ini. Ia menyebut forum semacam ini memperluas wawasan dan memperkuat karakter siswa lewat sastra.
“Sastra itu bukan sekadar teks. Ia bisa mengasah empati, memperkuat rasa, dan membuka cakrawala berpikir,” katanya.
Dita, siswi SMAN 15 Jakarta, mengaku terkesan bisa berdialog langsung dengan penulis. “Senang banget bisa tahu langsung bagaimana penulis mengeksplorasi ide jadi cerita,” ujarnya.
Ernesti Jatiningsih, guru SMAN 54 Jakarta, menyebut Bedah Buku ini memperkaya referensi bacaan untuk siswa. “Bukunya relevan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sangat cocok jadi bacaan wajib di kelas,” jelasnya.
Selain membedah buku, acara ini juga mengenalkan platform digital Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI). Melalui SIBI, siswa dan guru bisa mengakses buku-buku pendidikan berkualitas, baik buku teks maupun nonteks.
Ketua Komite Sastra DKJ Fadjriah Nurdiarsih mengapresiasi kolaborasi Pusat Perbukuan yang melibatkan banyak pelaku kreatif seperti penulis, ilustrator, dan editor. “Hasil kerja kolektif ini bisa langsung diakses melalui SIBI. Ini kerja cerdas dan nyata,” katanya.
Literasi yang Menggerakkan
Program “Di Balik Cerita” bukan sekadar bedah buku, tapi langkah nyata pemerintah membumikan sastra dalam pendidikan. Sastra tak lagi dianggap milik segelintir kalangan. Ia hadir di ruang kelas, berdialog dengan siswa, membentuk nalar, dan menguatkan karakter.
Dengan pendekatan seperti ini, literasi tak hanya mencetak pembaca, tapi juga melahirkan pemikir, penulis, dan warga yang berbudaya.