MAKLUMAT — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat peningkatan signifikan jumlah kasus Tuberkulosis dengan HIV (TB-HIV) di Indonesia. Data terbaru per 2 Januari 2025 menunjukkan kasus TB-HIV mencapai 17.136, naik dari 15.375 kasus yang tercatat pada Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) tahun 2022 lalu.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Ina Agustina Isturini, mengungkapkan bahwa langkah strategis dilakukan untuk mendeteksi dan mengobati kasus TB-HIV secara dini. Salah satu upaya utama adalah skrining TBC pada seluruh Orang dengan HIV (ODHIV) yang diselaraskan dengan program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG).
“Selain itu juga melakukan tes HIV pada pasien TBC,” ujar Ina dalam keterangannya, melansir Antara pada Sabtu (25/1/2025).
Bagi ODHIV yang terkonfirmasi TB, Kemenkes menerapkan pengobatan TBC bersamaan dengan pemberian antiretroviral (ARV). “ARV diberikan pada semua orang yang terdiagnosis HIV tanpa memandang stadium klinis dan nilai CD4,” jelasnya.
Ina menegaskan, ARV harus diberikan segera paling lambat pada hari ke-7 setelah diagnosis. Khusus untuk pasien TBC yang baru terdiagnosis HIV, pemberian ARV dilakukan dalam dua pekan pertama. Bagi ODHIV yang tidak terinfeksi TBC, mereka akan menerima Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT).
“ODHIV adalah salah satu kelompok yang rentan terkena TB. Kelompok lainnya meliputi anak-anak, perokok, lansia, orang dengan sistem imun rendah, dan individu yang kontak langsung dengan pasien TB,” terangnya.
TB, lanjut Ina, merupakan penyakit menular yang dapat menyebar jika tidak segera ditemukan dan diobati. Namun, penyakit ini dapat disembuhkan selama pasien menjalani pengobatan secara konsisten sesuai petunjuk medis.
“Pengobatannya membutuhkan waktu 6 bulan hingga lebih dari setahun, sehingga dukungan masyarakat sangat dibutuhkan untuk keberhasilan pengobatan pasien TBC,” sebutnya.
Peningkatan Notifikasi Kasus TB
Lebih lanjut, Ina juga menyorot data notifikasi kasus TB yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2024, tercatat sekitar 860 ribu kasus dari estimasi 1.092.000. Angka ini naik dibandingkan tahun 2023, di mana notifikasi mencapai 820 ribu dari estimasi 1.060.000 kasus.
“Terjadi peningkatan proporsi penemuan kasus dan pengobatan dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan sinyal baik bahwa orang-orang yang sakit dapat ditemukan dan diobati, sehingga mencegah penularan lebih lanjut,” ungkapnya.
Ina mengakui, target penanganan TB belum sepenuhnya tercapai. Sebab itu, Kemenkes terus mengupayakan terobosan dan strategi percepatan, termasuk mengintegrasikan skrining TB ke dalam program kesehatan nasional seperti Pemeriksaan Kesehatan Gratis.
MAKLUMAT — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan data kasus TB HIV yang mengalami peningkatan per 2 Januari 2025 menjadi 17.136 kasus. Kemenkes menegaskan tengah melakukan sejumlah upaya untuk mengentaskan hal tersebut, seperti skrining penyakit yang diintegrasikan dengan pemeriksaan kesehatan gratis (PKG).
Angka tersebut naik dari data sebelumnya dari Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) tahun 2022, yakni sekitar 15.375 kasus TB HIV.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Ina Agustina Isturini dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa langkah khusus dalam menanganinya dengan melakukan skrining TBC pada semua ODHIV sehingga bisa menemukan kasus TBC secara dini pada ODHIV dan segera diberikan pengobatan.
“Selain itu juga melakukan tes HIV pada pasien TBC,” katanya.
Pada ODHIV yang terkonfirmasi TB, ujarnya, selain pengobatan TBC dilakukan pemberian antiretroviral (ARV). Adapun ARV diberikan pada semua orang yang terdiagnosis HIV tanpa memandang stadium klinis dan nilai CD4.
Dia mengingatkan bahwa ARV harus diberikan pada hari yang sama atau selambat-lambatnya pada hari ke-7. Pada pasien TBC yang baru terdiagnosis HIV, katanya, ARV diberikan sesegera mungkin dalam 2 pekan pertama.
“Pada ODHIV yang tidak sakit TBC, maka diberikan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT),” kata dia menambahkan.
Ina menyebutkan bahwa ODHIV adalah salah satu kelompok yang rentan terkena TB.
Kelompok lainnya, anak-anak, perokok, lansia, orang dengan sistem imun rendah, dan orang yang kontak langsung dengan pasien TB.
Dia mengingatkan bahwa TB merupakan penyakit menular yang dapat menyebar bila tidak segera ditemukan dan diobati. Penyakit itu dapat disembuhkan, katanya, selama penyandangnya menjalani pengobatan sesuai petunjuk tenaga medis.
“Pengobatannya membutuhkan waktu 6 bulan hingga lebih dari setahun, sehingga dukungan dari masyarakat akan sangat dibutuhkan bagi keberhasilan pengobatan pasien TBC,” ujar dia menambahkan.
Dia menyebutkan, per awal Januari 2025, notifikasi kasus TB pada 2024 sekitar 860 ribu dari estimasi 1.092.000 kasus. Sedangkan pada 2023, katanya, notifikasi sebanyak 820 ribu dari estimasi kasus TB 1.060.000.
“Terjadi peningkatan proporsi penemuan kasus dan pengobatan dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan sinyal baik, bahwa orang-orang yang sakit dapat ditemukan sehingga bisa diobati dan mencegah penularan lebih lanjut,” katanya.
Meski demikian, angka tersebut belum mencapai target yang ditetapkan, sehingga dibutuhkan sejumlah terobosan dan strategi percepatan, termasuk salah satunya mengintegrasikan skrining TB ke dalam salah satu penyakit yang diskrining dalam Pemeriksaan Kesehatan Gratis.