Kemerdekaan Indonesia: Antara Pajak, Zakat, dan Janji yang Belum Tertunaikan

Kemerdekaan Indonesia: Antara Pajak, Zakat, dan Janji yang Belum Tertunaikan

MAKLUMATKemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945 sejatinya adalah titik awal untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun, setelah hampir delapan dekade berlalu, cita-cita tersebut belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, serta kebijakan yang kerap tidak berpihak pada rakyat masih menjadi persoalan nyata yang tersaji.

Potret terdekat dapat dilihat dari gerakan rakyat di Kabupaten Pati yang menolak kebijakan Bupati dalam menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen. Kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan kondisi perekonomian rakyat ini memicu keresahan dan penolakan luas dari masyarakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak peka terhadap kondisi perekonomian masyarakat yang sedang sulit. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan itu justru menambah beban rakyat kecil yang sudah berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup.

Ditambah lagi dengan pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyebut bahwa baik pajak maupun zakat sama-sama mengandung hak orang lain. Pernyataan tersebut terasa tidak relevan, sebab secara hakikat keduanya memiliki dasar, tujuan, dan mekanisme yang berbeda. Artinya, setiap kebijakan fiskal seharusnya dirancang demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, bukan malah menjerat mereka dengan beban baru. Pajak semestinya menjadi sarana pemerataan dan keadilan sosial, bukan alat yang justru memperdalam penderitaan masyarakat kecil.

Pajak, Zakat, dan Wakaf

Kasus di Kabupaten Pati menjadi cermin bahwa kemerdekaan tidak cukup hanya dimaknai sebagai terbebas dari penjajahan asing, melainkan juga harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang adil, berpihak kepada rakyat, dan mampu menghadirkan kesejahteraan nyata. Tanpa itu, kemerdekaan akan terasa hampa, hanya sekadar simbol, bukan kenyataan.

Baca Juga  Refleksi Kebangsaan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Pernyataan Menteri Keuangan yang menyebut bahwa pajak dan zakat sama-sama mengandung hak orang lain memang patut dikritisi. Sekilas terdengar mirip, tetapi secara hakikat keduanya berbeda. Pajak adalah kewajiban warga negara kepada negara, bersumber dari hukum positif, dan pemanfaatannya ditentukan oleh kebijakan Pemerintah. Sementara zakat adalah kewajiban agama bagi umat Islam, bersumber dari syariat, dengan tujuan utama membersihkan harta dan membantu kaum yang berhak menerimanya (mustahik).

Apabila dibandingkan lagi dengan wakaf, perbedaannya semakin jelas. Wakaf merupakan penyerahan harta untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan demi kepentingan umat, baik untuk ibadah maupun kesejahteraan sosial. Jadi, wakaf lebih bersifat sukarela dan jangka panjang, sementara zakat bersifat wajib bagi yang mampu, dan pajak adalah kewajiban hukum bagi seluruh warga negara tanpa memandang agama.

Karena itu, menyamakan ketiganya dalam satu narasi seolah-olah setara berpotensi menimbulkan kerancuan. Alih-alih menyederhanakan pemahaman, pernyataan semacam itu bisa mengaburkan peran fundamental masing-masing instrumen. Pajak, zakat, dan wakaf memiliki filosofi dan fungsi khas yang tidak bisa ditumpang-tindihkan begitu saja.

Mengingat janji yang hingga saat ini belum tertunaikan, janji yang pernah disampaikan kepada Ki Bagus Hadikoesoemo saat tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus menjelang pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Tujuh kata yang hilang dari Piagam Jakarta adalah “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kalimat ini sebelumnya merupakan bagian dari sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tidak heran bila sebagian tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, merasa “kehilangan” bagian penting dari Piagam Jakarta tersebut.

Baca Juga  Momentum Kemerdekaan Harus Jadi Gerakan Bersama Mewujudkan Kesejahteraan

Dalam konteks ini, tentu tidak elok apabila seorang Menteri Keuangan sampai mencampuradukkan makna zakat, pajak, dan wakaf,seolah-olah sama dalam merumuskan kebijakan. Sebab ketiganya memiliki dasar, tujuan, dan filosofi yang berbeda. Menyamakan ketiganya bukan hanya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, tetapi juga bisa mengaburkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam masing-masing instrumen.

Karena itu, sudah seharusnya Pemerintah lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan maupun kebijakan. Rakyat menunggu bukti nyata bahwa janji-janji kemerdekaan bisa diwujudkan, bukan sekadar simbol atau retorika. Hanya dengan cara itulah bangsa Indonesia dapat merasakan kemerdekaan yang sejati, merdeka secara politik, ekonomi, sosial, dan moral, sebagaimana yang telah dicita-citakan sejak tahun 1945.

Sisi Lain Kemerdekaan

Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tetapi juga menyangkut kemerdekaan dalam aspek sosial, moral, dan politik. Kemerdekaan yang sejati adalah ketika rakyat terbebas dari ketidakadilan, kemiskinan, serta kebijakan yang menindas. Di sinilah pentingnya peran negara dalam memastikan setiap kebijakan benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat.

Kemerdekaan dalam arti yang luas ini memberikan kontribusi penting dalam membentuk Indonesia sebagai negara yang merdeka secara hakiki, bukan hanya merdeka di atas kertas, tetapi juga merdeka dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kita dapat melihat bagaimana kondisi rakyat Indonesia saat ini. Di tengah perekonomian yang belum stabil, masyarakat justru dibuat resah dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang dirasa kurang berpihak. Keadilan sosial yang menjadi cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945 pun belum sepenuhnya terwujud.

Seolah-olah bangsa ini masih terjebak dalam lingkaran persoalan yang tak kunjung selesai. Bangsa yang merdeka seharusnya “sehat”, baik sehat bangsanya maupun sehat rakyatnya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang keras untuk mencapai kondisi tersebut.

Baca Juga  Alghorethicts: Etika untuk Otak Buatan di Era AI

Kemerdekaan yang belum dirasakan oleh rakyat menggambarkan bagaimana setelah hampir 80 tahun Proklamasi, cita-cita kemerdekaan belum sepenuhnya membuahkan kebahagiaan bagi kehidupan masyarakat. Kegembiraan yang tampak lebih sering hanya bersifat simbolik, tercermin dalam berbagai lomba dan perayaan yang diadakan hampir di setiap kampung maupun instansi, baik pemerintah maupun swasta.

Di balik kemeriahan itu, masih tersimpan kenyataan pahit: ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kemerdekaan yang hakiki belum sungguh-sungguh dirasakan, ia hanya hadir lebih sebagai seremoni, bukan kenyataan yang mengisi kehidupan sehari-hari masyarakat.

80 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia seolah hanyalah sekadar angka yang kembali dirayakan dengan berbagai kemeriahan tahun ini. Perayaan demi perayaan digelar di kampung, sekolah, hingga instansi pemerintah, tetapi makna kemerdekaan yang sejati masih terasa jauh dari harapan, apalagi kenyataan.

Namun, di balik rasa pesimis itu, tetap ada secercah optimisme. Harapan bahwa suatu saat bangsa ini benar-benar dapat merasakan kemerdekaan sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa, kemerdekaan yang menghadirkan keadilan sosial, kesejahteraan, dan martabat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apalagi, tema peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia tahun ini adalah “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Sebuah slogan yang begitu indah didengar, tetapi justru terasa kontras dengan realitas yang dialami rakyat. Persatuan memang dikumandangkan, kedaulatan dijanjikan, namun kesejahteraan dan kemajuan masih jauh dari merata.

*) Penulis: Anang Dony Irawan
Penikmat Sejarah, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *