Kenapa Saya Menolak Eksplorasi-Eksploitasi Migas Kangean?

Kenapa Saya Menolak Eksplorasi-Eksploitasi Migas Kangean?

Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain *)

MAKLUMAT — Tulisan ini secara praktis saya maksudkan untuk membantah mereka, kaum normatif, yang dalam ukuran saya tengah menderita wabah hilang ingatan, penyakit tuna sejarah (cum) sesat pikir, yang karenanya memilih untuk terus ”berhusnuzan” pada setiap aktivitas perusahaan di Kangean. Semoga mereka tak menyembunyikan ”muslihat jahat” di balik kata ”husnuzan” karena semakin lama sikap husnuzan mereka semakin mirip dengan opium dalam doktrin Karl Marx ketika tengah membahas posisi agama di tengah masyarakat, religion ist das opium des volkes.

Kedua, tulisan ini adalah pernyataan penolakan saya sebagai seorang pengarang, yang karenanya tulisan ini berdiri di atas dua pondasi utama (sebagaimana tulisan saya yang lain), yakni dasar ilmu pengetahuan (referensi, bacaan, dan tetek-bengek lainnya) plus pengalaman langsung sebagai indigenous-native, penduduk lokal Kangean.

Sebagai permulaan, telah saya lampirkan sebuah gambar dalam koleksi arsip Kangean yang hingga kini masih terus saya kumpul-satukan dari berbagai sumber terpisah:

Gambaran umum sebaran kayu di hutan Kangean. Sumber: Reis naar en door de Kangean-archipel, 1929. (Foto: Dok./ IST)
Gambaran umum sebaran kayu di hutan Kangean. Sumber: Reis naar en door de Kangean-archipel, 1929. (Foto: Dok./ IST)

Gambar yang saya lampirkan tidak bukan dan tidak lain adalah hasil dari “survei” hutan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kangean. Kegiatan tersebut dilangsungkan pada 9–21 Juni 1929, saya kliping-arsipkan dari sebuah laporan resmi Pemerintah Kolonial Belanda berjudul Reis naar en door de Kangean-archipel (Perjalanan ke dan Melalui Kepulauan Kangean).

Maksud saya begini, di antara logika para normatif dalam memandang polemik eksplorasi-eksploitasi migas di Kangean, sejumlah kelompok menyatakan bahwa kegiatan survei seismik di Kangean akan berguna untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang Kangean, pasalnya kegiatan yang dimaksud akan menampilkan rekaman ihwal potensi alam yang terkandung di kita punya pulau. Anggapan normatif yang demikian jelas salah. PT Kangean Energy Indonesia (KEI) dan SKK Migas merupakan satu kesatuan yang tengah bekerja sama untuk menjalankan bisnis tambang.

Karenanya, perlu diketahui (sebagai logika dasar sederhana), PT KEI merupakan perusahaan tambang, bukan lembaga pendidikan. Perusahaan tersebut tak mungkin berhenti dan merasa cukup ketika telah berhasil merekam kandungan alam Kangean melalui survei seismik. Mereka akan terus melanjutkan kegiatannya. Setelah eksplorasi survei seismik mereka akan melakukan eksplorasi pengeboran yang sebentar nanti akan diakhiri dengan kegiatan eksploitasi pengeboran migas Kangean.

Baca Juga  Darurat Ekonomi: Pasar Kerja Tak ramah Gen Z

Ketiganya, ekplorasi seismik; eksplorasi pengeboran; dan eksploitasi pengeboran migas Kangean merupakan satu kesatuan yang utuh. Ini saya tegaskan karena beberapa kelompok pro-tambang berusaha untuk menjinakkan rakyat Kangean dengan narasi yang menyatakan bahwa survei seismik dan pengeboran migas bukan merupakan satu kesatuan. Sebagai bukti, di sini saya lampirkan tautan video resmi yang diunggah di platform YouTube SKK Migas bahwa ketiga kegiatan tersebut di atas merupakan serangkaian kegiatan yang sama. Sila perhatikan tautan video dari portal YouTube SKK Migas Official berikut: Eksplorasi dan Produksi Migas.

Selanjutnya, mari kita kembali pada gambar hasil eksplorasi hutan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kangean pada 1929 silam sebagai bahan penting untuk merawat kesadaran sejarah kita. Peta potensi dan kandungan hutan Kangean (lengkap dengan detail keterangan serta catatan setebal 48 halaman tersebut) merupakan khazanah ilmu pengetahuan pasca-eksplorasi. Namun demikian, apakah hasil eksplorasi 1929 tersebut cuma berakhir sebagai laporan penetilian lapangan? Saya pikir tidak.

Huub de Jonge, seorang antropolog Belanda, lewat bukunya, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, menyebutkan bahwa pada abad 19 di kawasan Madura dan Jawa bagian timur, kayu jati untuk bahan bangunan didatangkan dari Kangean. Artinya, jati Kangean yang pada rentang abad 18 dianggap tak memiliki kualitas baik karena tumbuh di kawasan kepulauan terpencil nun jauh di timur Madura sana (Gennep: 1896), kemudian dianggap bernilai tinggi di abad 19 pasca-eksplorasi resmi Pemerintah Kolonial Belanda di hutan kepulauan tersebut.

Senada dengan catatan pada paragraf di atas, laporan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1929, Reis naar en door de Kangean-archipel yang mulanya cuma sekadar eksplorasi kemudian menjadi titik awal eksploitasi hutan (khususnya jati) di Kepulauan Kangean. Laporan eksplorasi hutan 1929 tersebut menjadi pintu gerbang sebelum pada akhirnya (dan hingga kini) tanah-tanah serta sebagian rimba Kangean dihutankan dengan jati.

Baca Juga  Rakyat Dikorbankan Demi Kenyamanan Aparat: Kritik atas Pembangunan Mes-Kejari dan Asrama Polres Bima Kota

Sekarang, perhatikanlah bagaimana peta hutan kita. Nyaris di tiap titik desa yang berdampingan dengan hutan memiliki kawasan produksi yang dijaga, dikesploitasi, dan ”dimanfaatkan” untuk kepentingan sebuah perusahaan hutan negara bernama Perhutani. Sebuah harga yang terlampau mahal untuk dibayar oleh peladang tradisional kita yang mesti arabhes (sebuah metode pertanian babat alas yang sejak turun-temurun telah dipraktikkan penduduk lokal Kangean) lebih jauh dari pemukiman, yang artinya juga semakin dekat dengan hutan lindung.

Pemandangan selanjutnya, para peladang lokal kemudian distigma sebagai pelaku utama di balik masifnya penebangan liar di hutan Kangean. Fakta bahwa arabhes memang membuka hutan adalah benar sama sekali, tapi, bukankah perusahaan hutan negara itu juga mulanya arabhes dan menyingkirkan peladang lokal kita? Paling tidak, begitulah nasib kita di masa depan jika memilih untuk berkompromi (lagi) dengan kelompok kapital bernama perusahaan skala nasional. Belajarlah, belajarlah, belajar dari sejarah bangsamu yang kerap disingkirkan ini!

Belakangan kemudian saya mengetahui bahwa jati Kangean memiliki kualitas yang demikian baik, khususnya dalam hal kekuatan dan keawetan, kepadatan serat, estetika, serta kandungan minyak alaminya. Tak hanya jati, kayu-kayu hutan lainnya (berdasarkan wawancara saya dengan seorang eks-pegawai Perhutani yang pernah bertugas di Kangean beberapa dekade lalu) juga menghasilkan kayu dengan kualitas mumpuni dan bahkan kerap dijadikan pemasok utama pangsa pasar ekspor kayu internasional.

Sekarang, ada kita mengerti dan menikmati keberhasilan perusahaan hutan negara dalam mengembangkan bisnis hutan di Kangean? Jika tidak, kenapa kita masih berharap ke perusahaan lainnya? Berbagai rentetan eksploitasi hutan, mulai dari Pemerintah Kolonial Belanda hinggan Pemerintah Republik lewat perusahaan hutan negara (baca: Perhutani) nyaris tak pernah membagikan keuntungannya yang demikian besar itu ke penduduk lokal Kangean. Faktanya, orang-orang kita pada akhirnya cuma dibebankan berbagai kerugian dan kehilangan pemandangan, potensi, dan kehijauan hutan sebagai penyangga utama kehidupan.

Kedua perusahaan yang saya umumkan di tulisan ini, Perhutani (yang sudah) dan PT Kangean Energy Indonesia (yang akan kita tolak) telah melemparkan ingatan saya ke sebuah kota kering berkapur di sisi utara Jawa, Cepu. Paling tidak perhatian saya pada Kangean sama dengan bagaimana saya mengenal Cepu. Kota itu merupakan potret utuh dari korban proyek kepentingan bisnis negara, mulai dari jati hingga pengeboran migas. Sialnya, Kangean juga akan di-Cepu-kan, dengan komoditas yang sepenuhnya sama.

Baca Juga  Mendaruratkan dan Menormalkan: Politik Menggaruk Bagian Tubuh yang Tidak Gatal

Saya memang tak akan membahas banyak doktrin ilmu pengetahuan modern macam logika hukum (yang merupakan warisan hukum kolonial); doktrin ketahanan energi dan kepentingan nasional yang menjadi faktor utama banyaknya konflik agraria di sepanjang kepulauan Nusantara; ekologi sosial; ekonomi politik; sosialisme demokratis; maupun pembagian keuntungan yang melibatkan pemerintah pusat, perusahaan, dan pemerintah daerah serta kabupaten. Tulisan lain saya setelah tulisan ini akan mengumumkannya secara berkala. Tunggulah!

Saat ini, cukuplah bagi saya untuk memulai penolakan dari basis argumen yang paling sederhana, sebagaimana alasan yang digunakan oleh mayoritas orang-orang saya di Kangean sana. Saya, dan mayoritas rakyat Kangean, menolak rencana eksplorasi-eksploitasi migas Kangean karena tak hendak ditipu lagi. Penolakan saya dan rakyat Kangean berangkat dari kesadaran utuh untuk menolak disingkirkan kesekian kalinya dari tanah, laut, hutan, sawah, dan ladang yang merupakan ruang hidup rakyat. Itu saja.

Rekam sejarah pengalaman panjang kita dengan perusahaan hutan negara di Kangean mestinya dapatlah menjadi selayang pandang utama ketika sebuah perusahaan tambang datang bersama-sama dengan SKK Migas untuk kembali mengeksplorasi dan (pada akhirnya) akan mengeksploitasi Kangean di sektor yang berbeda. Sebagai pemilik sah atas kepulauan ini, saya yang telah kehilangan hutan karena perusahaan, tak hendak kehilangan laut, sawah, ladang, dan seisinya karena perusahaan eksploitatif lainnya.

Di akhir, saya, Syauqi Khaikal, yang sejak lulus Sekolah Dasar (SD) telah meninggalkan Kangean dan menempuh pendidikan modern di kota pinggiran hingga kota besar, dalam tulisan ini memilih untuk sepenuh-penuhnya memakai kesadaran kelas saya sebagai orang desa, orang pulau, pelosok, orang Kangean yang tradisional demi menolak perangkat penindasan modern hasil kawin-mawin antara ilmu pengetahuan modern dengan nafsu menguasai manusia sekaligus alam.

Sekarang tiba juga giliranmu untuk bicara, wahai kaum normatif-modernis prematur! Bicaralah, bicara! Saya menunggu . . .

*) Penulis: Syauqi Khaikal Zulkarnain
Diaspora Kangean Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *