MAKLUMAT – Di tengah kompleksitas tantangan pemerintahan daerah, kepemimpinan tidak cukup hanya bertumpu pada kemampuan teknis atau kekuasaan formal. Yang jauh lebih mendasar adalah kesadaran spiritual—nilai-nilai yang membumi, memanusiakan, dan memandu arah perubahan.
Pengalaman saya selama satu dekade memimpin Bojonegoro mengajarkan bahwa prinsip-prinsip Islam seperti amanah, keadilan, keikhlasan, semangat berkemajuan, dan gotong royong adalah sumber energi transformasi. Ini bukan sekadar retorika moral, tetapi menjadi pendekatan nyata dalam tata kelola pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan inovatif.
Dalam teori Fry (2003), spiritual leadership berakar pada motivasi dari dalam diri, bukan tekanan eksternal. Dalam Islam, ini disebut amanah dan khidmah—tanggung jawab dan pelayanan. Kami wujudkan ini melalui sistem meritokrasi, reformasi birokrasi, hingga pendekatan pelayanan tanpa jarak yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat.
Meski berasal dari latar belakang Muhammadiyah, saya berkomitmen menjalankan pemerintahan yang inklusif. Semua program, dari subsidi pertanian hingga jaminan kesehatan daerah, diberikan tanpa diskriminasi. Seleksi CPNS kami lakukan terbuka dan transparan. Seorang pemimpin, bagi saya, harus seperti sopir bus: melayani semua penumpang, bukan hanya kelompok tertentu.
Pendekatan ini berdampak nyata. Angka kemiskinan turun dari 28% menjadi 14% dalam delapan tahun. Tingkat kepuasan publik meningkat, pengaduan menurun, dan berbagai penghargaan nasional berhasil diraih. Semua ini bukan hasil dari saya pribadi, tetapi buah dari spiritualitas yang membangun budaya birokrasi melayani.
Tiga Postulat Kepemimpinan Spiritual Islam
Ada tiga pelajaran penting dari pengalaman ini:
- Kepemimpinan adalah kesadaran, bukan sekadar kekuasaan. Kepemimpinan lahir dari niat dan kehendak untuk menghadirkan nilai keadilan, amanah, dan kemajuan bagi semua, bukan sekadar mencapai jabatan.
- Pendekatan dakwah yang inklusif dan kolaboratif. Kepemimpinan spiritual mendorong solidaritas sosial dalam masyarakat majemuk (ukhuwah Islamiyah), bukan memecah belah. Ini penting untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi.
- Integrasi nilai spiritual sebagai penggerak perubahan. Nilai spiritual bukan penghambat, melainkan penggerak perubahan yang positif, mencerahkan, dan berkelanjutan.
Kepemimpinan Publik: Jalan Spiritual
Kepemimpinan publik sejatinya adalah jalan spiritual—tariqah pengabdian. Ini bukan jalan mengejar kehormatan, tetapi ladang amal untuk menghadirkan maslahat. Kepemimpinan spiritual tidak menjauh dari dunia, justru merasuk ke dalamnya untuk memberi makna. Indonesia hari ini membutuhkan lebih banyak pemimpin yang menjadikan nilai spiritual sebagai kompas, bukan sekadar peta jalan kekuasaan.
Sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Ini berlaku pula dalam kepemimpinan: jadikan jabatan sebagai jalan memberi, bukan mencari. Di situlah spiritualitas menemukan wujudnya yang paling otentik.