Kerentanan Mahasiswa Masih Sering Dieksploitasi, Ketua PP Formabu Ingatkan Pelajaran G30S/PKI

Kerentanan Mahasiswa Masih Sering Dieksploitasi, Ketua PP Formabu Ingatkan Pelajaran G30S/PKI

MAKLUMAT — G30S/PKI adalah salah satu babak paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini memang diperingati setiap tahun, namun maknanya sering berhenti sebatas seremonial. Ketua Forum Mahasiswa Alumni Bahrul Ulum (Formabu), M. Ali Hafidz, menegaskan bahwa peristiwa itu sebenarnya menyimpan banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran.

“Meski partai itu telah dibubarkan dan ideologi komunisme tidak lagi punya tempat di tanah air, cara mereka memainkan isu ternyata masih ada dalam praktik-praktik hari ini. Cara PKI mengeksploitasi kemiskinan bisa ditemukan kembali, misalnya di dunia mahasiswa,” ujar Ali kepada Maklumat.id, Kamis (25/9/2025).

Ia menjelaskan, pada masa lalu PKI sangat lihai menjadikan kemiskinan sebagai amunisi politik. Buruh di perkotaan dan petani di pedesaan diposisikan sebagai basis utama. Dengan memanfaatkan penderitaan ekonomi, PKI mampu mengklaim diri sebagai representasi suara rakyat.

Lambang palu dan arit yang dipakai PKI pun tidak sekadar simbol, tetapi bagian dari strategi komunikasi politik. Ali memaparkan bahwa palu dipakai untuk merepresentasikan buruh di kota, sedangkan arit melambangkan petani di desa. Kedua kelompok ini dianggap sebagai basis suara potensial, sebab kemiskinan membuat mereka rentan dan mudah diarahkan.

“Dalam kondisi serba kekurangan, masyarakat mudah percaya pada pihak yang datang menawarkan solusi. Namun, solusi itu sering kali hanya bungkus, sementara kepentingan sebenarnya ada di tangan segelintir elit,” jelas mahasiswa yang kini sedang menempuh program studi Magister Studi Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.

Baca Juga  Penyebab Paus Fransiskus Meninggal Dunia Terungkap, Ini Kata Dokter yang Merawatnya

Kerentanan Mahasiswa Jadi Komoditas

Ali menegaskan, praktik serupa masih bisa dilihat di era sekarang, tak terkecuali di dunia mahasiswa. Ia mencontohkan fenomena demo bayaran, di mana sekelompok mahasiswa digerakkan bukan karena kesadaran kritis, melainkan karena imbalan. Bentuknya bisa berupa uang transport, konsumsi, hingga janji jaringan politik.

Menurutnya, pola ini sangat mirip dengan strategi PKI, yakni memobilisasi orang dengan memanfaatkan kerentanan mereka. “Kalau sudah begitu, idealisme mahasiswa jatuh murah. Mereka bukan lagi dipandang sebagai agen perubahan, tapi hanya jadi alat mobilisasi instan,” ujarnya.

Selain dalam aksi jalanan, Ali juga menyoroti kebiasaan beberapa organisasi mahasiswa yang menjadikan kadernya sekadar “pengisi kursi” dalam berbagai acara formal. Menurutnya, banyak kegiatan seremonial yang sejatinya tidak membutuhkan partisipasi mahasiswa secara substansial, namun organisasi tetap mengerahkan anggotanya agar forum terlihat penuh.

Kader didorong hadir hanya untuk meramaikan ruangan, tanpa mendapatkan manfaat nyata dari kegiatan tersebut. Ia menilai pola semacam ini tidak berbeda jauh dengan eksploitasi, sebab mahasiswa diperlakukan sebagai angka yang bisa dihitung jumlahnya, bukan sebagai individu yang perlu dibina.

“Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kemiskinan intelektual dalam tubuh organisasi. Mahasiswa tidak diberi kesempatan berkembang melalui diskusi kritis atau pelatihan yang relevan, melainkan sekadar menjadi latar dekoratif agar acara tampak sukses,” jelasnya.

Jika pola ini terus berlangsung, maka organisasi tersebut hanya akan mencetak kader pasif yang kehilangan daya kritis. Mahasiswa tidak tumbuh sebagai subjek yang berdaya, melainkan sekadar alat legitimasi yang bisa digerakkan sesuai kebutuhan. Ali menilai praktik-praktik semacam ini tidak boleh terus dipelihara dan harus segera dihentikan.

Baca Juga  Kuota Haji 2024: Praduga Tak Bersalah, Polemik Hukum, dan Rasa Keadilan Jemaah

Ia juga menyinggung soal multi level marketing (MLM) yang menyasar kadang mahasiswa baru. Skema bisnis itu, menurutnya, kerap menggunakan narasi keluar dari kemiskinan dan meraih kebebasan finansial. Nyatanya, keuntungan hanya dinikmati sebagian kecil orang di level atas, sementara sebagian besar anggota justru merugi.

“Dalam hal ini, pola yang sama terlihat, kemiskinan dijual sebagai pintu masuk. PKI pernah melakukannya dengan jargon perjuangan rakyat, sementara MLM mengemasnya dengan bahasa modern tentang sukses dan kemandirian ekonomi,” tegasnya.

Pentingnya Refleksi Kritis

Dari demo bayaran hingga fenomena MLM, Ali menilai pola-pola semacam ini bisa bertahan karena ada dua faktor. Pertama, mahasiswa sebagai kelompok muda sering kali masih mencari identitas dan mudah terbujuk oleh narasi besar. Kedua, lemahnya pemberdayaan di dalam organisasi membuat mahasiswa rawan menjadi korban.

Menurutnya, seharusnya setiap wadah yang ingin merangkul mahasiswa bisa menawarkan jalan berbeda. Bukan menjadikan kader sekadar massa aksi atau peramai acara, melainkan membekali mereka dengan keterampilan, literasi, dan jejaring yang memperkuat posisi tawarnya di masyarakat.

Ia menegaskan bahwa kaderisasi sejatinya adalah proses pemberdayaan, bukan eksploitasi. “Organisasi harus mengasah potensi, membangun kesadaran kritis, melatih kepemimpinan. Kalau itu dilakukan, mahasiswa akan mandiri dan tidak mudah diperalat,” katanya.

Ia juga menyoroti perlunya mahasiswa membaca sejarah secara reflektif. Menurutnya, tragedi G30S/PKI bukan hanya kisah kelam, melainkan juga pelajaran tentang bagaimana isu kemiskinan sebagai kerentanan bisa dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Jika mahasiswa hari ini tidak waspada, maka pola lama akan terus berulang dengan wajah baru.

Baca Juga  Hadiri Pelantikan PC IMM Ponorogo, Suli Daim Pesankan Aktivis Jangan Takut Melangkah

“Sejarah itu bukan sekadar peringatan tahunan. Dari situ kita belajar agar jangan sampai mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan justru terjebak dalam pola lama, menjual dan dijual atas nama perjuangan,” pungkasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *