
MAKLUMAT — Setiap musim haji tiba, ingatan saya kembali ke satu peristiwa di tahun 1998. Kala itu, seorang pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) ditangkap polisi Arab Saudi.
Alasannya? Ia terlibat dalam praktik pengepul dam haji Tamattu’. Sungguh, cerita ini bukan hanya tentang hukum, melainkan tentang nilai kepercayaan yang dicoreng oleh mereka yang seharusnya menjadi panutan.
Dam haji Tamattu’ adalah denda berupa penyembelihan kambing atau puasa sepuluh hari yang diwajibkan bagi jemaah haji yang melaksanakan umrah sebelum haji. Dalam QS Al-Baqarah: 196, ketentuan ini sangat jelas.
Namun, praktiknya seringkali menyisakan keraguan. Di balik tembok-tembok suci, ada kesepakatan gelap antara pembimbing dan mukimin yang menjadikan dam sebagai ladang bisnis. Harga ditawarkan bervariasi, dari 200 hingga 350 riyal, sementara manfaat hewan sembelihan kerap tidak sampai kepada fakir miskin.

Demikian kutipan dari Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur kala itu, dalam sebuah artikel di Jawa Pos pada 30 Agustus 2017. Ia mengisahkan langkahnya yang berbeda: menyerahkan dam kepada kaum dhuafa di tanah air. Baginya, manfaat lebih besar dapat diraih di sana.
Keresahan Nadjib Hamid
Ia mempertanyakan, mengapa tidak ada diskresi untuk mendistribusikan daging dam ke tempat yang lebih membutuhkan. Tahun demi tahun berlalu, tetapi gema keresahan Nadjib Hamid yang meninggal dunia pada 9 April 2021, tetap relevan hingga kini.
Sampai akhirnya, sebuah kisah menarik datang dari Menteri Agama Nasaruddin Umar. Dalam diskusinya dengan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F. Al Rabiah, di sebuah ruangan VIP Masjidil Haram pada akhir November 2024, persoalan ini muncul kembali.
“Ada gagasan di negeri kami, bagaimana kalau dam dilakukan di Indonesia?” ujar Menag Nasaruddin Umar di Jakarta, 18 Desember 2024. Gagasan ini terbilang berani. Jika 95% jemaah haji Indonesia memilih haji Tamattu’, maka kebutuhan kambing mencapai sekitar 220.000 ekor.
Angka ini bukan hanya soal statistik, tetapi peluang besar bagi peternakan lokal dan kebutuhan gizi anak-anak bangsa. “Presiden Prabowo sangat mengutamakan peningkatan gizi anak-anak Indonesia. Daging dam bisa menjadi solusi,” lanjut Menag.
Jika gagasan ini terealisasi, peternak kambing di Indonesia akan merasakan panen raya. Anak-anak Indonesia dapat menikmati protein yang cukup, dan para pelaku usaha ternak mendapat keuntungan besar.
Tergantung Fatwa MUI
Namun, persoalan agama tak sesederhana logika ekonomi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap menjadi penentu utama. Meski Menteri Haji Saudi menyatakan, “Itu malah membantu kami,” namun keputusan ini harus berpijak pada Maqasidus Syariah, prinsip maslahat dalam hukum Islam.
“Wilayah agama itu bukan wilayah pemerintah. Kami hanya fasilitator, pembuat fatwa tetap MUI,” tegas Nasaruddin Umar. Menag meyakini bahwa dialog dengan MUI akan membuka jalan, meskipun ia juga sadar bahwa gagasan ini memerlukan keberanian luar biasa untuk keluar dari tradisi.
Almarhum Najib Hamid mungkin tak pernah menduga, kegelisahannya menemukan jawaban dari seorang Menteri Agama di tahun yang berbeda.
Namun, bukankah sejarah sering menunjukkan bahwa gagasan besar selalu bermula dari kegelisahan kecil? Dan kini, gagasan itu mengalir, dari ruang VIP Masjidil Haram hingga harapan peternak kambing di pelosok Indonesia.