Kesenjangan Sosial dan Amuk 30 Agustus: Saatnya Pangkas Tunjangan DPR & ASN

Kesenjangan Sosial dan Amuk 30 Agustus: Saatnya Pangkas Tunjangan DPR & ASN

MAKLUMATAmuk 30 Agustus 2025 yang menjarah rumah anggota DPR RI dan seorang menteri hanyalah puncak gunung es. Sebuah letupan sosial yang lama dipendam rakyat, yang tiap hari disuguhi tontonan pesta pora pejabat di layar kaca, TikTok, dan Instagram. Rakyat lapar, tetapi yang mereka lihat hanyalah pesta.

Bagaimana orang kecil diminta terus bersabar, sementara angka pemutusan hubungan kerja (PHK) kian naik? Hingga Desember 2024, hampir 78 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian. Baru tujuh bulan di 2025, sudah lebih dari 42 ribu buruh terdepak. Gelombang berikutnya—280 ribu buruh dari 60 perusahaan—tinggal menunggu giliran.

Di Tuban, ribuan buruh rokok Gudang Garam berdiri di depan pabrik setelah kontrak mereka diputus. Videonya viral, menyayat hati. Kontras dengan pejabat yang enteng memamerkan mobil mewah, pesta ulang tahun anak di hotel berbintang, dan rumah megah dengan kolam renang. Empan papan—perasaan tahu diri—telah lama sirna.

Ironinya, di tengah kabar efisiensi anggaran dari pemerintah Prabowo–Gibran, DPR justru menaikkan tunjangan rumah hingga Rp50 juta per bulan. Publik murka. Pos polisi dibakar, gedung Grahadi di Surabaya jadi korban amarah. Akhirnya tunjangan itu dibatalkan. Namun luka sosial telanjur terbuka.

Mari jujur: negeri ini berdiri di atas jurang kesenjangan sosial. Buruh tekstil bergaji UMR yang sering telat dibayar; nelayan yang solar lebih mahal dari harga jual ikan; petani yang hasil panennya ditekan tengkulak. Bandingkan dengan pejabat pajak yang bisa mengantongi Rp117 juta hanya dari tunjangan, atau ASN DKI Jakarta di mana seorang Sekda bisa meraih Rp127 juta sebulan.

Baca Juga  Islam Berkemajuan dan Demokrasi Substansial

Kesenjangan ini bukan sekadar angka, melainkan bara sosial. Ia bisa meledak kapan saja, sebagaimana terbukti pada amuk 30 Agustus itu. Sejarah telah menunjukkan: Revolusi Prancis hingga Arab Spring, semua bermula dari ketidakadilan yang dipelihara terlalu lama.

Saya teringat ucapan Rieke Diah Pitaloka: “Silakan kalau buat saya mau dikurangin semua juga gak masalah. Terserah saja.” Kalimat sederhana, tapi sarat makna. Ada keberanian untuk mengakui: pejabat seharusnya ikut merasakan kesulitan rakyat, bukan hidup di menara gading.

Pemangkasan tunjangan pejabat—terutama di kementerian keuangan dan lembaga dengan angka fantastis—bukan hanya soal efisiensi. Ia adalah simbol keberpihakan. Sebuah isyarat empati. Bahwa negara masih punya rasa. Kalau tidak, bersiaplah: amuk sosial bisa datang lagi, kapan saja, di mana saja.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *