24.2 C
Malang
Minggu, November 24, 2024
TopikKeterwakilan Perempuan Masih Seolah Sebagai Pemanis

Keterwakilan Perempuan Masih Seolah Sebagai Pemanis

Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati.

KETERWAKILAN perempuan pada Pemilu 2019 mengalami peningkatan mencapai 20,53 persen. Sayang, peningkatan jumlah keterlibatan perempuan itu belum berbanding lurus dengan kebijakan-kebijakan yang dihasilnya. Masih rentan dalam kebijakan publik dan seolah pemanis.

”Momentum 25 tahun reformasi, semestinya kesetaraan gender sudah mencapai aspek substansi. Bukan sekadar angka dan statistik yang meningkat. Sebab, posisi perempuan akan sangat krusial dalam pembangunan politik di Indonesia,” kata Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, kepada Maklumat.id.

Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah itu melanjutkan, dia kecewa dengan hadirnya PKPU No.10/2023 yang dianggapnya akan mengancam keterwakilan perempuan di parlemen. Sebab, dalam penghitungan 30 persen keterwakilan, jika terdapat pecahan desimal akan dilakukan pembulatan ke bawah, bukan bukan pembulatan ke atas. Sehingga berpotensi keterwakilan perempuan tidak menjadi genap 30 persen.

”Ini adalah salah satu problem serius yang berpotensi mengancam keterwakilan perempuan. Hemat saya, PKPU tersebut harus direvisi,” ujar aktivis Nasyiatul Aisyiyah tersebut.

Selain itu, dalam pandangannya, parpol juga memiliki problem yang cukup serius terhadap keterlibatan dan keterwakilan kaum perempuan yang seolah-olah hanya menjadi pemanis atau pelengkap. ”Perempuan yang punya kapasitas dan kapabilitas bagus ini terkadang justru kalah hanya karena tidak punya dana. Mereka kalah dengan yang cuma memiliki modal finansial besar,” keluhnya.

Terkait dengan peran kader-kader perempuan Muhammadiyah, Neni menyorot bahwa keterlibatan dan diaspora kader perempuan Muhammadiyah di ranah-ranah kebangsaan masih sangat minim. Kendati keterlibatan perempuan Muhammadiyah tersebut terbagi dalam tiga ranah, yakni sebagai peserta pemilu, sebagai penyelenggara pemilu, dan sebagai pemilih.

Sejauh ini, menurutnya kader-kader perempuan Muhammadiyah masih terjebak pada wacana-wacana feminisme kultural, belum pada feminisme struktural. Sehingga masih banyak hanya berkutat pada hal-hal yang hanya bersifat prosedural.

”Selain itu juga ada problem atau tantangan di internal ataupun pada keluarga yang masih kuat budaya patriarki, itu tentu berpengaruh besar pada keterlibatan perempuan Muhammadiyah di sektor-sektor kebangsaan,” ungkapnya.

Menurut Neni, sejatinya Nasyiatul Aisyiyah bisa menjadi cikal bakal kader perempuan Muhammadiyah untuk terjun dan berdiaspora di ranah politik. Juga berharap bisa menciptakan terobosan-terobosan serta inovasi untuk menyelesaikan permasalahan klasik tersebut.

”Aisyiyah perlu juga untuk melakukan pemetaan kader, melakukan pendampingan dan strategi komunikasi politik untuk memastikan terdistribusinya kader-kader perempuan yang potensial, yang memiliki minat di politik, lembaga negara, ataupun penyelenggara pemilu. Dan tentu itu semua bisa dilakukan dengan memperkuat kaderisasi dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kader-kader perempuan Muhammadiyah,” jelasnya. (*)

Reporter: Ubay

Editor: Mohammad Ilham

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer