MAKLUMAT — Di sebuah tanah yang subur, berdirilah sebuah kebun tua bernama Muhammadiyah. Usianya jauh melampaui umur negara ini. Layaknya manusia yang menua, kebun itu mulai rentan-rentan kehilangan daya ingat, rentan salah menilai siapa kawan dan siapa lawan.
Kebun Muhammadiyah dulunya terkenal akan hasil panennya yang menyejukkan hati. Airnya jernih mengalir dari waduk besar di utara desa, sementara di selatan desa sungai lebar melintasi antar provinsi. Orang-orang dari jauh mengenal desa itu karena satu minuman tradisional yang khas: “Es Baik,” minuman yang segarnya telah menembus batas kabupaten.Kebun ini tidak berdiri sendiri. Ada para tukang kebun yang merawatnya dengan telaten, dan ada para penggembala yang sesekali datang membantu. Mereka mungkin bukan saudara sedarah, tapi hati mereka terikat oleh satu hal: mentimun ideologi, buah simbol kesepahaman dan kesetiaan pada nilai yang sama.
Namun, pada suatu siang, seekor kancil muncul. Tubuhnya kecil, matanya licik, langkahnya ringan. Ia tak datang untuk membantu, tapi untuk mencuri. Ia menyelinap di antara semak, lalu menggondol mentimun ideologi itu untuk dinikmati di sarangnya sendiri.
Beberapa tukang kebun sempat melihat kambing-kambing milik para penggembala lewat di tepi kebun. Tanpa pikir panjang, tuduhan pun melayang: kambing-kambing itulah pencurinya. Cekcok pun meletup. Tuduhan demi tuduhan membuat para tukang kebun dan penggembala saling berpaling muka. Hingga puncaknya tukang Kebun mendirikan tembok setinggi 3 meter agar kambing-kambing pengembala tidak lagi bisa melintasi kebunnya.
Kancil tersenyum puas. Ia tahu, bila penggembala pergi, tukang kebun akan sendirian. Dan benar saja, dengan liciknya, kancil membisikkan racun manis di telinga tukang kebun, “Sudahlah… lupakan penggembala itu. Sekarang kebun ini milikmu sepenuhnya.”
Setahun berlalu. Panen merosot drastis. Tukang kebun mulai mengeluh dan menyesal. Tanpa rekan, tanpa persaudaraan, kebun seluas itu tak lagi bisa diurus dengan baik. Sementara itu, kancil makin leluasa mencuri hasil panen.
Hingga pada suatu sore, tukang kebun lewat di sebuah savana. Di sana, ia melihat ratusan domba milik penggembala yang dulu ia usir. Penggembala itu kini berjaya, sementara ia yang dulu merasa menang justru terpuruk. Penyesalan datang terlambat.
Kisah ini akan terus berulang jika para penjaga Kebun Muhammadiyah kehilangan ikatan ideologinya. Ego sektoral hanya akan membuat kebun ini kering dan gersang. Sebaliknya, bila dikelola dengan hati yang ikhlas, dengan perhitungan yang matang, dan dengan niat menebar manfaat, kebun ini akan kembali berbuah manis.
Dan kelak, setiap tetes keringat yang jatuh akan menjadi ibadah yang dinilai oleh Allah Swt bukan sekadar hasil panen di dunia, tapi pahala yang kekal di akhirat.***