Ketika Legenda Disatukan “Titip Rindu Buat Ayah”; Iwan Fals Lantang Bersuara, Ebiet Membelai Rasa

Ketika Legenda Disatukan “Titip Rindu Buat Ayah”; Iwan Fals Lantang Bersuara, Ebiet Membelai Rasa

MAKLUMAT — Saat nama Iwan Fals dan Ebiet G Ade disebut bersamaan, memori tentang musik Indonesia serentak membuncah. Mereka lahir di era 1960-an, menapaki masa muda di tengah gejolak sosial-politik, dan menyalurkan keresahan serta harapan lewat nada dan kata. Jalan mereka berbeda, tetapi tujuan mereka sama: menjadikan musik sebagai cermin kehidupan, mengungkap rasa manusia dengan jujur, tanpa basa-basi.

Iwan Fals, atau Virgiawan Listanto, lahir di Jakarta, 3 September 1961. Ia memetik gitar di jalanan, menantang dinginnya malam, sebelum akhirnya dikenal luas. Lagu-lagunya—Bongkar, Bento, Manusia Setengah Dewa—menggambarkan ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan kehidupan rakyat kecil. Nada sederhana berpadu lirik lugas yang menohok, membuat pendengar merasa terwakili.

Ribuan penonton, dari generasi tua hingga muda, selalu memadati konsernya. Mereka bernyanyi bersama, tertawa bersama, bahkan menitikkan air mata bersama. Iwan tidak sekadar tampil; ia berbicara, mengajak publik menatap wajah bangsa. Nada dan liriknya seolah mewakili suasana hati gejolak sosial Agustus 2025.

Ebiet G Ade lahir 21 April 1954 di Banjarnegara. Ia menapaki jalan musik lewat balada puitis, menyentuh jiwa pendengar dengan lembut dan mendalam. Dengan melodi yang menenangkan dan lirik penuh puisi, ia mengungkap kerinduan, kehilangan, dan hubungan manusia dengan alam serta Sang Pencipta.

Lagu-lagunya—Berita Kepada Kawan, Titip Rindu Buat Ayah, Camellia—membawa pendengar merenung, menghadirkan ruang batin yang hening namun hidup. Album debutnya, Camellia I (1979), langsung menempatkannya di puncak popularitas, menunjukkan bahwa musik tidak sekadar hiburan, tapi medium refleksi kehidupan.

Baca Juga  Media Israel Pamer Foto Nuklir Fordo, Iran Tuding Pengkhianatan Diplomasi AS

Perbedaan suara mereka justru memperkuat pesan yang sama. Iwan lantang, Ebiet lembut. Iwan menyuarakan protes, Ebiet membelai rasa. Tetapi keduanya menempatkan manusia sebagai pusat karya. Mereka menulis sejarah melalui nada dan kata, menyampaikan suasana, kisah, dan keresahan bangsa. Lagu-lagu mereka tetap hidup, dinyanyikan ulang, viral di media sosial, dan ditemukan kembali oleh generasi baru. Pesan mereka melintasi zaman, relevan di masa apa pun.

Rahasia musik mereka sederhana: kejujuran. Iwan Fals dan Ebiet G Ade merekam rasa dan menanggapi dunia tanpa topeng. Dari Bento hingga Berita Kepada Kawan, karya mereka tetap menggugah, baik lewat kaset lawas maupun layanan streaming digital. Mereka berbicara langsung pada hati pendengar, menjadikan musik sebagai cermin realitas sekaligus harapan.

Kolaborasi terbaru mereka, Titip Rindu Buat Ayah, yang rilis 2 September 2025 di akun Youtube @Musica Studios, kembali menyatukan dua suara legendaris. Nada mereka tidak hanya menghadirkan hiburan; ia menyentuh rasa universal, menjembatani generasi lama dengan generasi baru. Di antara denting gitar dan bait-bait lirik, pendengar menemukan ruang untuk tertawa, menangis, dan berharap.

Di media sosial, ribuan penggemar menumpahkan rasa. Ada yang menulis, “Selamat untuk Ayah Ebiet dan Ayah Iwan Fals, keren duet legendaris ini dengan lirik yang dalam.” Ada pula yang mendoakan ayah mereka yang sedang sakit, bahkan penggemar dari Malaysia ikut memberi penghormatan. Nada mereka bukan sekadar suara, melainkan ruang refleksi, doa, dan kenangan.

Baca Juga  Angka Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Jatim Masih Tinggi, Fraksi PKB Desak Percepatan Raperda

Perjalanan hidup mereka pun menjadi kisah yang menginspirasi. Iwan tumbuh di Jakarta, menyaksikan ketidakadilan, dan memilih gitar sebagai senjata melawan ketimpangan. Ebiet, dari Banjarnegara, belajar menulis puisi dari alam dan kehidupan sederhana, lalu menyalurkannya lewat balada yang abadi. Mereka membuktikan bahwa musik bisa menjadi dokumen sejarah, catatan rasa, dan penghubung generasi.

Selama hati manusia mencari makna, karya Iwan Fals dan Ebiet G Ade akan terus hidup. Nada mereka menembus batas generasi, menyalakan kenangan, dan tetap menjadi cermin kehidupan. Iwan bicara dengan lantang, Ebiet membelai penuh kelembutan. Mereka tidak sekadar menyanyi; mereka menuturkan hidup dan kehidupan.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *