Ketika Objektivitas Menjadi Dalih, Ekologi Jadi Tumbal

Ketika Objektivitas Menjadi Dalih, Ekologi Jadi Tumbal

MAKLUMAT — Editorial Suara Muhammadiyah edisi September 2025 mengangkat pentingnya objektivitas dalam memandang isu tambang dan agama. Pesannya sederhana: jangan memulai dari prasangka negatif, sebab hasil kajian akan bias dan kehilangan daya ilmiah. Pada titik tertentu, seruan ini penting untuk mengingatkan agar umat tidak terjebak pada fanatisme atau pandangan tunggal.

M. Hermayani Putera.
Penulis: M. Hermayani Putera.

Namun, masalah muncul ketika nasihat objektivitas itu dipakai untuk merelatifkan penolakan terhadap tambang. Seolah-olah, kritik terhadap tambang hanyalah produk “sudut pandang negatif” yang apriori, bukan hasil pembacaan ilmiah. Padahal, di lapangan, penolakan tambang sering kali lahir dari pengalaman pahit: hutan yang gundul, air yang tercemar, sawah yang tak lagi panen, hingga lubang maut bekas tambang yang merenggut nyawa anak-anak. Fakta-fakta ini bukan persepsi, melainkan realitas sosial-ekologis yang bisa diverifikasi secara ilmiah.

Objektivitas yang terlalu diagungkan dalam editorial itu juga perlu dikritisi. Filsafat ilmu modern sejak Thomas Kuhn hingga Sandra Harding, menegaskan bahwa tidak ada ilmu yang steril dari nilai, paradigma, dan kepentingan.

Objektivitas selalu berkelindan dengan keberpihakan. Maka, ketika masyarakat atau akademisi mengkritik tambang dari perspektif keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial, itu bukan bias apriori, melainkan keberpihakan yang sah kepada kehidupan. Dalam Islam, keberpihakan itu selaras dengan perintah amar makruf nahi munkar: berpihak pada yang lemah, menolak kezaliman, dan menjaga kemaslahatan semesta.

Baca Juga  Zulhas Usul Kewenangan Larangan Impor Komoditas Pangan Dipindah ke Kemenko Pangan

Menyandingkan isu tambang dengan stigma radikalisme agama dalam editorial tersebut juga terasa janggal. Radikalisme agama dan kritik terhadap tambang berada pada medan masalah yang berbeda. Yang satu menyangkut tafsir keagamaan dan kekerasan, yang lain menyangkut eksploitasi sumber daya alam serta nasib masyarakat adat dan petani. Dengan menyamakan keduanya, ada risiko mengaburkan urgensi kritik terhadap praktik tambang yang nyata-nyata merusak.

Alih-alih mengampanyekan “objektivitas” yang netral dan seolah bebas nilai, yang lebih mendesak hari ini adalah meneguhkan keberpihakan pada keadilan ekologis.

Islam tidak mengajarkan netralitas yang steril, melainkan objektivitas yang berlandaskan etika. Rasulullah Saw bersabda: “Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.” Prinsip kasih sayang semesta ini mestinya menjadi dasar umat Islam menilai tambang—apakah ia membawa maslahat atau mudarat.

Karena itu, kritik terhadap tambang tidak boleh dipinggirkan sebagai “bias negatif”. Ia justru adalah bentuk tanggung jawab moral umat untuk menjaga bumi sebagai amanah Allah.

Objektivitas sejati bukanlah menghapus nilai, melainkan menjadikan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan rahmah sebagai lensa membaca realitas. Dan dari lensa itulah, umat akan menemukan bahwa tambang berkelanjutan lebih sering menjadi ilusi daripada kenyataan.

*) Penulis: M. Hermayani Putera
Pengurus Majelis Lingkungan Hidup PWM Kalimantan Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *