MAKLUMAT — Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, M. Mirdasy, mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.
Menurutnya, kebijakan ini kurang tepat di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca-Pilkada serentak 2024. “Kenaikan PPN dari 11 menjadi 12% harus dibatalkan. Pemerintah sebaiknya fokus pada pemulihan ekonomi pasca-Pilkada serentak 2024,” ujar Mirdasy kepada Maklumat.ID, Senin (2/12/2024).
Ia menilai, di masa pemulihan ekonomi, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan pemberian stimulus kepada pelaku usaha, khususnya pada 2025. Langkah ini dianggap krusial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan membantu masyarakat kelas bawah.
“Pemerintah harus menyediakan stimulus ekonomi yang konkret, tidak hanya subsidi, tetapi juga bantuan perbankan bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” tegas Mirdassy.
Mirdassy juga menyebut langkah ini selaras dengan program yang dicanangkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang diharapkan bisa diwujudkan pada 2025.
Selain kebijakan ekonomi, ia menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional setelah pelantikan hasil Pilkada serentak pada Februari 2025. Momen Idulfitri pada Maret 2025 diharapkan menjadi waktu yang tepat untuk mempererat persatuan bangsa.
“Rekonsiliasi pasca-Pilkada harus diwujudkan. Lebaran bisa menjadi momentum untuk bersatu membangun Indonesia,” tambahnya.
Jangan Terkecoh Narasi Naik 1 Persen
Sementara itu, akun X @Strategi_Bisnis mengingatkan masyarakat agar tidak terkecoh dengan narasi kenaikan PPN sebesar 1%. “Jangan terkecoh dengan narasi PPN naik hanya 1%, dari 11 ke 12%. Kenaikan itu setara dengan 9% secara persentase,” tulis akun tersebut.
Sebagai contoh, barang seharga Rp 1 juta dengan PPN 11% dikenai pajak Rp 110 ribu. Jika PPN menjadi 12%, pajaknya naik menjadi Rp 120 ribu. “Kenaikan dari Rp 110 ribu ke Rp 120 ribu itu setara 9 persen,” tulisnya lagi.
Akun tersebut memperkirakan kenaikan PPN akan meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 80 triliun. Namun, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada efisiensi belanja, terutama anggaran pegawai yang dinilai masih boros.
Kritik juga datang dari akun lain, @QomariahRizkiy, yang mempertanyakan mengapa negara tidak memanfaatkan kekayaan alam untuk meningkatkan pendapatan.
“Bayangkan negara-negara Arab hanya punya minyak. Indonesia punya segalanya, tapi rakyat tetap dibebani pajak,” tulisnya.