21.3 C
Malang
Kamis, Januari 2, 2025
TopikKetum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir: PPN 12% Perlu Penjelasan Kategori Premium...

Ketum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir: PPN 12% Perlu Penjelasan Kategori Premium yang Jelas

Refleksi Tahun 2024
Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir meminta pemerintah menjelaskan kebijakan PPN 12% kategori premium dalam refleksi tahun 2024 di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12). Foto:Medkom

MAKLUMAT – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengkritik rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Ia menilai pemerintah perlu memberikan kejelasan terkait kategori barang dan jasa yang masuk dalam kategori premium.

“Harapan kami, pemerintah mendeklarasikan kategori premium secara jelas. Apa saja yang termasuk, sehingga tidak menimbulkan spekulasi. Premium itu harus benar-benar tingkat tinggi, misalnya dari segi penghasilan. Jika penghasilan Rp100 juta dikenakan, itu belum tentu bisa disebut premium,” ujar Haedar dalam refleksi tahun 2024 di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, No. 23, Kota Yogyakarta, Senin (30/12).

Menurut Haedar, kebijakan ini harus disertai penjelasan yang objektif agar dapat diterima masyarakat. “Lebih baik kategori premium ini diperketat. Jika memungkinkan, ada peninjauan ulang secara keseluruhan. Kami pernah mengusulkan reorientasi perpajakan yang sesuai dengan kondisi dan struktur ekonomi Indonesia,” jelasnya.

Perpajakan Berbasis Falsafah Bangsa

Haedar menegaskan, sistem perpajakan Indonesia sebaiknya tidak sepenuhnya mengadopsi prinsip ekonomi kapitalis liberal. Ia mengingatkan kembali pentingnya Pasal 33 UUD 1945 yang bertentangan secara fundamental dengan prinsip individualisme dan liberalisme.

“Ekonomi Indonesia bukan ekonomi kapitalis liberal. Bung Hatta pernah mengatakan, ekonomi kita adalah ekonomi terpimpin, di mana negara hadir sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pajak seharusnya sejalan dengan falsafah bangsa dan Pancasila, bukan sekadar menarik pendapatan,” kata Haedar.

Ia juga menyinggung pentingnya kebijakan pajak yang mengonfirmasi nilai-nilai dasar negara. “Kami pernah menyebut konsep perpajakan berbasis Pancasila. Sebagai pihak swasta, seperti Muhammadiyah, kami tidak pernah menghindari pajak. Namun, perlu diingat bahwa setiap usaha yang dibangun adalah untuk bangsa dan negara,” tambahnya.

Perlunya Sinkronisasi Kebijakan

Haedar menyoroti adanya potensi dualisme dalam implementasi kebijakan pajak. Ia mengingatkan bahwa masyarakat memiliki irama tersendiri yang dapat bertentangan dengan kebijakan pemerintah jika tidak ada keselarasan.

“Jika pemerintah tidak memberikan penjelasan yang jelas tentang kategori premium, maka akan terus terjadi kontradiksi. Pemerintah berjalan dengan kebijakannya, masyarakat dengan caranya sendiri. Ini harus dihindari,” tegasnya.

Sebagai penutup, Haedar berharap pemerintah transparan dalam menentukan kategori premium dan sasaran kebijakan. “Semua harus terbuka dan jelas. Jika itu dilakukan, kebijakan perpajakan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat,” ujarnya.

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer