26.7 C
Malang
Rabu, April 2, 2025
KilasKhutbah Idulfitri Din Syamsuddin: Mendaki Jalan Ketakwaan Meraih Hidup Berkemajuan

Khutbah Idulfitri Din Syamsuddin: Mendaki Jalan Ketakwaan Meraih Hidup Berkemajuan

Prof Din Syamsuddin MA PhD, menjadi khatib dalam Salat Idulfitri 1 Syawal 1446 H di Kompleks Perguruan Muhammadiyah Sidoarjo, Senin (31/3/2025). (Foto: Ubay NA)
Prof Din Syamsuddin MA PhD, menjadi khatib dalam Salat Idulfitri 1 Syawal 1446 H di Kompleks Perguruan Muhammadiyah Sidoarjo, Senin (31/3/2025). (Foto: Ubay NA)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jamaah Salat Idulfitri, kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia,

Tiada yang patut kita ungkapkan kecuali rasa syukur ke hadirat Allah Swt bahwa saat ini kita dapat merayakan Idulfitri, hari raya kesucian, hari raya kekuatan, dan hari raya kemenangan. Kata fitrah mengandung arti kesucian dan kekuatan. Manusia terlahir ke muka bumi dengan fitrah kemanusiaan yang suci, yaitu tidak membawa dosa warisan dari siapa pun, baik kedua orang tua yang melahirkannya, maupun Adam dan Hawa moyang umat manusia. Sebaliknya, fitrah kemanusiaan mewatisi kesucian, karena ruh yang dihembuskan ke dalam jasad beberapa bulan sebelum kelahiran terikat perjanjian suci dengan Sang Pencipta. Hal ini diabadikan dalam Al-Quran berupa dialog arwah dan Sang Pencipta: “Alastu birobbikum (bukankan Aku Tuhanmu?)” dan dijawab “Bala syahidna (Ya, kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan kami).”

Jamaah Salat Idulfitri yang berbahagia,

Kemenangan yang diraih kaum beriman yang telah berhasil menempuh pelatihan Ramadan adalah kemenangan dari jihad besar atau al-jihad al-akbar. Jihad ini lebih tinggi nilainya dari pada berjuang di jalan Allah dengan berperang yang hanya merupakan jihad kecil atau al-jihad al-ashghar. Mengendalikan hawa nafsu disebut sebagai jihad besar adalah karena pengendalian hawa nafsu adalah perbuatan yang sangat berat dan susah dilakukan manusia. Hawa nafsu cenderung mendorong manusia kepada keburukan (al-nafs al-ammarah bi al-su). Sebagai akibatnya, manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsu akan terjebak ke dalam kekejian, kemunkaran, dan kezaliman. Inilah yang dewasa ini menjelma dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinahan, pencurian, korupsi, sampai kepada penyalahgunaan dan penyelewengan amanat jabatan.

Semuanya itu menunjukkan terjadinya kerusakan moral dalam masyarakat, yang melanda tidak hanya anak-anak dan remaja, tapi juga orang-orang dewasa. Kerusakan moral ini merupakan masalah besar bagi bangsa, dan bahkan dapat meruntuhkan kehidupan bangsa. Pepatah Arab mengatakan: “Dengan akhlak sesuatu bangsa berdiri tegak, jika akhlak runtuh bangsa itu menjadi rapuh.”

Bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan modal budaya yang tinggi sekarang mengalami pergeseran dan perubahan. Pertama, jika dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sekarang ada gejala sebagian anak bangsa cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan kemudian menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tega menghilangkan nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Sebagian anak-anak bangsa terjebak ke dalam fanatisme buta dalam membela agama dari pada mengembangkan toleransi yang lapang dada terhadap sesama. Kedua, Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa pejuang, sehingga mampu bertahan tiga setengah abad terhadap penjajahan. Monumen di mana kita berada sekarang adalah bukti sejarah tentang kepejuangan itu. Sebagai bangsa pejuang, Bangsa Indonesia dikenal tidak kenal lelah dan pantang menyerah terhadap segala macam tantangan. Inilah yang terpantul dari pepatah: “Sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang.” Namun sekarang daya juang itu mulai berkurang, tergerus oleh zaman. Sebagian anak-anak bangsa cenderung menjadi pecundang. Mereka tidak tahan terhadap ujian dan cobaan, sehingga mengambil jalan pintas menerobos hukum dan Undang-Undang (UU), menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Daya juang pun berkurang ketika anak-anak bangsa tidak siap bersaing dan bertanding, bahkan terjatuh pada kecenderungan membanggakan bangsa-bangsa lain yang dianggapnya maju dan modern. Anak-anak bangsa kehilangan jati diri dan tidak bangga terhadap bangsa sendiri. Ketiga, Bangsa Indonesia juga terkenal sebagai bangsa yang bergotong-royong. Mereka bahu-membahu dan saling membantu dalam berbagai persoalan dan kegiatan. Sudah menjadi tradisi di desa maupun di kota antarsesama warga masyarakat bekerja sama menyelesaikan tugas bersama dalam prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Namun, sekarang etos kegotong-royongan mulai mengendor tergerus waktu. Semangat kegotong-royongan tergantikan oleh kecenderungan hidup bernafsi-nafsi untuk hidup dan selamat sendiri. Jika dalam semangat kegotong-royongan terdapat keihklasan dan ketulusan untuk membantu sesama seperti terdapat dalam peribahasa: “Sepi ing pamrih, rame ing gawe,” sekarang segala sesuatu diukur dari sudut materi atau bendawi.

Jamaah Salat Idulfitri yang dirahmati Allah,

Tentu gambaran tadi tidak mencerminkan realitas masyarakat secara keseluruhan. Masih banyak warga bangsa yang masih mengamalkan watak bangsa yang sejati, baik dalam keramah-tamahan, semangat kejuangan, dan semangat kegotong-royongan. Namun, potret buram perlu diungkapkan agar kita dapat melakukan muhasabah (mawas diri) dan muraqabah (jaga diri) bahwa ada masalah dalam kehidupan masyarakat kita. Memang globalisasi dan modernisasi telah membawa dampak ke dalam kehidupan bangsa, baik positif maupun negatif. Pada sisi positif, globalisasi dan modernisasi telah membawa kemajuan dan kemudahan bagi kita dalam berkomunikasi satu sama lain, memperoleh informasi dan pengetahuan tentang berbagai macam hal, terutama akibat perkembangan teknologi informasi. Tetapi pada sisi lain, kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif. Globalisasi dan modernisasi juga melahirkan manusia-manusia individualistik yang cenderung mendewakan diri sendiri, materialistik yang cenderung mendewakan materi dan hal bendawi, serta hedonistik yang cenderung mendewakan pemuasan hasrat badani. Ketiga kecenderungan ini, yang menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran dan kehidupan, sesungguhnya merupakan sikap-sikap yang anti Tuhan. Padahal Islam dengan ajaran tauhidnya sangat menekankan bahwa Tuhanlah yang harus menjadi pusat kesadaran dan kehidupan manusia. Itulah yang terpantul dari syahadat kita: La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah. Bahkan lebih dari pada itu, Islam mengajarkan bahwa hidup kita di dunia yang bersifat sementara ini haruslah diarahkan kepada Allah Swt, karena Dialah yang menjadi tujuan dan muara hidup kita, sebagaimana terdapat dalam ungkapan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita milik Allah, berasal dari Allah, dan akan kembali ke hadirat-Nya.

Jamaah Salat Idulfitri rahimakumullah,

Oleh karena itu, Idulfitri yang kita rayakan hari ini adalah momentum bagi kita untuk kembali ke fitrah kemanusiaan sejati, yaitu kepribadian suci dan kuat. Kepribadian inilah yang terlahir dari shaimin dan shaimat, yaitu mereka yang telah menempuh pelatihan Ramadan sebulan penuh dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Memang ibadah-ibadah Ramadan memiliki dua fungsi utama, yaitu penyucian diri (tazkiyat al-nafs atau self refinement) dan penguatan diri (tarqiyat al-nafs atau self empowerment). Selama sebulan penuh para shaimin dan shaimat menyucikan jiwa dari segala noda dan dosa, dengan meningkatkan hubungan dengan Allah Swt melalui puasa, qiyamul lail, zikir, iktikaf, dan lain sebagainya. Selama sebulan penuh pula, para shaimin dan shaimat meningkatkan kapasitas diri, dengan menampilkan jati diri yang sejati sebagai manusia dengan potensi-potensi positif dan konstruktif, untuk kehidupan. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan berbagi terhadap sesama, mengembangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturahmi.

Dari kedua fungsi Ramadan tadi, diharapkan kaum beriman kembali menemukan fitrah kemanusiaannya yang sejati. Fitrah kemanusiaan ini akan menampilkan kepribadian paripurna, yaitu kepribadian yang bernafaskan akhlah mulia. Seseorang yang mampu mencapai tingkat kepribadian paripurna ini adalah orang yang berhasil meraih puncak keberagamaan, yaitu akhlak mulia. Akhlak mulia adalah hakikat sekaligus muara keberagamaan. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR Al-Baihaki)

Maka, oleh karena itu, para ulama merumuskan sistematika keberagamaan dalam trilogi Akidah-Ibadah-Akhlak, yang sejalan dengan trilogi Iman-Islam-Ihsan. Ketiganya dapat dipandang sebagai piramida keberagamaan, yaitu akidah atau iman sebagai titik tolak, Islam atau ibadah sebagai jalan, dan akhlak atau ihsan sebagai tujuan akhir. Dalam kaitan ini, ibadah seperti puasa dan amal-amal Ramadan lainnya hanyalah jalan untuk menuju tujuan, yaitu pengamalan akhlak mulia. Oleh karena itu, Ramadan yang kita lalui sebulan yang lalu bukanlah tujuan terakhir. Ramadan hanyalah jalan dan tonggak pendakian menuju puncak atau tujuan. Puncak dan tujuan itu adalah meraih akhlak mulia. Keberagamaan sejati haruslah mampu membuahkan akhlak mulia. Namun, akhlak mulia dalam pandangan Islam tidak hanya mengenai nilai-nilai etika kesusilaan seperti berlaku baik, sopan dan santun terhadap sesama, tetapi juga menyangkut nilai-nilai etos kesosialan seperti kerja keras, kerja sama, daya juang, dan daya saing, serta orientasi kepada kemajuan dan keunggulan.

Jamaah Salat Idulfitri rahimakumullah,

Islam adalah agama kemajuan dan keunggulan. Sebagai agama kemajuan (din al-hadharah), Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk mampu menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis, bukan kehidupan yang pasif dan stagnan. Rasulullah Saw berpesan: “Barang siapa yang mampu menciptakan hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang sukses; dan jika hanya mampu menciptakan hari ini sama dengan hari kemarin sesungguhnya dia gagal; apalagi jika gagal menciptakan hari ini lebih baik atau sama dari hari kemarin, maka dia adalah orang terhina.”

Dari hadis tadi sangat jelas bahwa umat Islam harus berorientasi kepada kualitas dan dinamika kehidupan. Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. Hal ini sehalan dengan adagium globalisasi bahwa: “no longer number counts, but quality counts” atau tidak lagi angka yang berbilang, tapi mutu atau kualitaslah yang berhitung dan diperhitungkan. Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas dengan kualitas barulah berharga. Dari hadis tadi pula sangat jelas bahwa salah satu syarat untuk dapat menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis adalah dengan memiliki kesadaran akan waktu, bahwa waktu itu penting. Maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu, bahkan memuat sumpah Allah atas waktu seperti pada ayat: “wal ashri-demi waktu, wal laily-demi waktu malam, wal fajri-demi waktu fajar, wad dhuha-demi waktu dhuha, was syamsi-demi matahari, wan najmi-demi bintang, wal qamari-demi bulan,” dan seterusnya. Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya adalah pangkal kemajuan. Islam menuntut umat Islam untuk mampu merebut kemajuan dan keunggulan dalam berkebudayaan dan berperadaban.

Untuk itu Al-Quran sudah menunjukkan jalan sebagaimana firman Allah Swt: “Mereka (umat Islam) akan ditimpa oleh kehinaan dalam mereka membangun kebudayaan dan peradaban, kecuali jika mereka dapat mengembangkan hubungan dengan Allah (yang berkorelasi positif dengan) hubungan dengan sesama manusia, dan mereka juga ditimpa oleh kemiskinan…”

Jamaah Salat Idulfitri rahimakumullah,

Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam akan ditimpa oleh kehinaan dan kemiskinan kecuali jika mereka mengembangkan hubungan vertikal dengan Allah atau hablun minallah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia atau hablun minannas. Sebagai mafhum mukhalafah, dapat dikatakan bahwa keterpurukan dan kemiskinan yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah karena ketidakmampuan mereka dalam mengembangkan hablun minallah dan hablun minannas dalam korelasi positif, dinamis, dan efektif. Maksudnya, bahwa antara keduanya haruslah terjalin hubungan integral yang membawa dampak positif, dinamis dan efektif. Maka solusi terhadap fenomena keterpurukan dan kemiskinan umat Islam dewasa ini adalah dengan mengembangkan kedua hubungan tadi secara terintegrasi, bahwa yang pertama (hablun minallah) haruslah membawa dampak positif dan efektif ke dalam yang kedua (halun minannas). Integrasi hablun minallah dan hablun minannas secara positif dan efektif dapat dilakukan jika ibadah-ibadah yang kita lakukan dapat membawa dampak sistemik ke dalam perilaku bermoral dan beretika, sehingga kita dapat mengembangkan kebersamaan dalam membangun kebudayaan dan peradaban utama. Hal ini dapat terwujud jika umat Islam, sebagai khaira ummah atau umat terbaik, terdiri dari individu-individu yang berkepribadian suci dan kuat.

Jamaah Salat Idulfitri yang dirahmati Allah,

Pesan dan watak Islam agar umat Islam menempuh jalan mendaki dalam keberagamaan dan kehidupan sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi umat Islam dan bangsa dewasa ini. Pada era modern dan global dewasa ini, setiap muslim dituntut untuk mampu menampilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekuen, serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya agama yang disukai di sisi Allah adalah beragama dengan penuh kehanifan yang berlapang dada.”

Mengamalkan kehanifan yang berlapang dada (penuh keterbukaan dan toleransi) adalah sejalan dengan predikat umat Islam sebagai umat tengahan (ummatan wasathan). Akidah Islam adalah akidah tengahan, yaitu akidah yang mengedepankan wasathiyah atau orientasi hidup moderat, penuh toleransi, keseimbangan, dan kelapangan dada. Orientasi hidup ini membawa kita untuk teguh dalam prinsip, namun terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar diri kita.

Prinsip jalan tengah Islam (wasathiyah) ini merupakan watak Islam yang perlu kita kedepankan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tercinta. Kita ditakdirkan Allah Swt berada dalam latar dan suasana kemajemukan, baik atas dasar agama, suku, bahasa, dan budaya, maupun paham keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Terhadap sesama muslim kita perlu mengembangkan persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), dan terhadap sesama bangsa kita rajut dan kembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan terhadap sesama manusia kita tampilkan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).

Dalam kaitan ini, adalah penting bagi umat Islam dan Bangsa Indonesia untuk mengamalkan wawasan baru dalam kehidupan kebangsaan kita, yang mungkin dapat disebut sebagai wawasan jalan tengah. Wawasan ini merupakan kristalisasi nilai-nilai Islam sebagai agama jalan tengah yang berdasarkan pada al aqidah al-wasathiyyah, dan umat Islam sebagai umat tengahan (ummatan wasathan). Inilah wawasan jalan tengah (the middle path), yang merupakan nilai-nilai Islam berkemajuan. Sebagai umat tengahan, umat Islam diserukan untuk memberi kesaksian kepada dunia, yaitu dengan menampilkan bukti-bukti kemajuan kebudayaan dan peradaban. Islam jalan tengah seperti itu mungkin bisa menjadi solusi bagi Indonesia menuju kebangkitan, kemajuan, dan keunggulan. Jalan tengah ini perlu menjadi bagian dari kesadaran umat Islam dan Bangsa Indonesia. Jalan tengah perlu mengkristal menjadi watak bangsa maju.

Jamaah Idulfitri rahimakumullah,

Dalam kaitan ini, paling tidak ada Dasa Cita Budaya Maju yang perlu menjadi budaya baru Bangsa Indonesia. Dasa Cita Budaya Maju itu adalah:

  1. Maju dari kebiasaan mementingkan diri sendiri atau kelompok dengan mengedepankan kepentingan publik dan kepentingan bangsa yang lebih luar;
  2. Maju dari tirani perasaan benar sendiri menjadi anak bangsa yang toleran dan menghargai perbedaan;
  3. Maju dari sifat-sifat feodalisme dan primordialisme menjadi egalitarian, yang menempatkan sesama anak bangsa dalam posisi dan perlakuan yang sama;
  4. Maju dari budaya yang hanya mencela belaka dengan membangun budaya menghargai upaya dan hasil karya orang lain;
  5. Maju dari budaya nepotisme dengan mengedepankan budaya meritokrasi atau prestasi;
  6. Maju dari budaya kekerasan menjadi bangsa yang beradab dalam menyelesaikan setiap persoalan;
  7. Maju dari kebiasaan korupsi dan mulai bekerja membangun prestasi dan menuai karya dari hasil keringat sendiri;
  8. Maju dari ketergantungan dari bangsa lain dan mulai membangun kemandirian nasional, melalui kerja sama internasional yang adil dan saling menguntungkan;
  9. Maju dari rasa rendah diri dalam pergaulan antarbangsa dan menjadi bangsa yang berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini; serta
  10. Maju dari kecintaan pada dunia fana belaka dan mulai menyeimbangkan kehidupan dengan menjalankan ajaran agama yang baik (agama yang fungsional), yang tidak hanya berhenti pada spiritualisme pasif, tetapi berlanjut pada spiritualisme aktif dan dinamis yang mendorong daya saing, etos kerja, dan produktivitas, sehingga bangsa dapat bersaing di pentas global.

Jamaah Salat Idulfitri yang dirahmati Allah Swt,

Adalah saatnya bagi umat Islam untuk bangkit menampilkan wawasan Islam berkemajuan untuk menjadi pilar terwujudnya Indonesia berkemajuan, dengan mengaktualisasikan watak-watak insan tauhidi yang mereka.

Semoga segala amal ibadah kita pada bulan suci Ramadan dapat mengantarkan kita pada momentum Idulfitri, kala kita terlahir kembali sebagai insan fitri dengan kepribadian paripurna yang suci dan kuat, guna dapat menampilkan hidup berkemajuan.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa orang-orang yang beriman kepada-Mu, baik yang masih ada maupun tiada. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa kedua orang tua kami, rahmatilah kedua mereka, sebagaimana mereka telah mendidik kami sejak kecil. Ya Allah, terimalah segala ibadah kami pada Bulan Ramadan. Terimalah puasa kami, salat kami, iktikaf kami, doa dan zikir kami, zakat, infak, dan sedekah kami. Ya Allah, berilah kami kekuatan lahir dan batin untuk dapat beribadah kepada-Mu dalam kuantitas dan kualitas. Ya Allah, jadikanlah kami umat yang besar dalam jumlah dan bilangan, tapi juga besar dalam mutu dan kualitas.

Ya Allah, terima segala amal ibadah Ramadan kami, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang dapat kembali ke fitrah kemanusiaan sejati dengan kepribadian paripurna, sehingga kami dapat mengemban misi sebagai khalifah-Mu membangun kebudayaan dan peradaban utama di muka bumi-Mu. Ya Allah, perbaikilah keberagamaan kami yang menjadi cita-cita kehidupan kami, perbaikilah kehidupan duniawi kami tempat kami hidup dan berkehidupan, perbaikilah kehidupan ukhrawi kami yang menjadi tujuan hidup kami, jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagi kami dari segala kebaikan, dan jadikanlah kematian perhentian bagi kami dari segala keburukan. Ya Allah, limpahkanlah bagi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta bebaskanlah kami dari siksa neraka. Aamiin…

Nasruminallah wafathun qorib, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

_____________

Oleh: Prof. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D., adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015; Kini menjabat Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Pondok Labu, Jakarta Selatan

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer