
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا, وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا, لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ اِلَّا اِيَّاهُ ,مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ, وَلَوْ كَرِهَ الكَافِرُوْنَ, لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَهَزَمَ الاَحْزَابَ وَحْدَهُ, لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَر, اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Pada kesempatan khutbah Idulfitri 1446 H ini, izinkan saya mengurai tema penting dan aktual. Sebuah tema yang berusaha memotret kondisi masyarakat kita, yakni ‘Idulfitri dan Kesehatan Mental‘. Tema ini sangat relevan dengan kondisi umat saat ini. idulfitri bukan hanya perayaan spiritual, namun juga momentum sosial yang bisa kita maknai untuk memperkuat kesehatan jiwa.
Kesehatan mental adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam tentang kesehatan holistik–sehat jasmani dan rohani. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal darah. Apabila ia baik, baiklah seluruh tubuh; dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati” (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini mengingatkan bahwa kondisi batiniah dan mental kita sangat memengaruhi keseluruhan hidup kita.
Jama’ah Idulfitri rahimakumullah!
Islam sejak awal menaruh perhatian besar pada kondisi psikologis umatnya. Al-Quran menggambarkan betapa iman dan zikir dapat menenteramkan jiwa: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
Ayat tersebut menekankan dzikrullah sebagai sumber ketenangan batin di tengah kegelisahan hidup.
Nabi Muhammad Saw sendiri mengajarkan doa agar dilindungi dari tekanan mental negatif: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan gelisah, dari kelemahan dan kemalasan…” (HR. Abu Dawud).
Doa tersebut menunjukkan bahwa kesedihan, kecemasan, stres adalah hal yang manusiawi dan Islam mengajarkan kita memohon pertolongan Allah untuk mengatasinya.
Idulfitri membawa semangat kembali ke fitrah, artinya kembali pada kesucian jiwa dan ketenangan hati setelah ditempa puasa. Di hari ini, kita disunnahkan untuk saling bermaafan, memulihkan hubungan sosial (silaturahim), dan berbagi kebahagiaan terutama kepada fakir miskin melalui zakat fitrah dan sedekah. Tahukah kita? Semua amalan ini memiliki hikmah psikologis yang besar: memaafkan orang lain melegakan beban emosi dan menghilangkan dendam, silaturahim mengusir kesepian dan menguatkan dukungan sosial, sedekah menumbuhkan empati dan kebahagiaan batin baik bagi pemberi maupun penerima.
Rasulullah SAW bersabda, “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah” (HR. Tirmidzi). Senyum dan kebaikan pada sesama di hari raya akan memupuk kegembiraan kolektif dan menyehatkan jiwa masyarakat. Namun di balik suka cita Idulfitri, kita tidak boleh menutup mata bahwa banyak saudara kita mungkin tampil bahagia, tapi di dalam jiwanya menyimpan kegalauan. Kesehatan mental adalah tantangan nyata umat hari ini. Untuk itu, marilah di sisa waktu khutbah ini kita renungkan berbagai aspek kesehatan mental dalam konteks kehidupan kita saat ini, meliputi dampak ekonomi, sosial, hingga pengaruh media sosial terhadap kesehatan jiwa kita.
Hadirin yang dimuliakan Allah Swt, aspek ekonomi sangat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Kondisi ekonomi yang sulit–seperti pengangguran, kemiskinan, atau himpitan utang–dapat menjadi stressors berat yang memicu kecemasan dan depresi.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk bertawakal atas rezeki dari Allah dan selalu berikhtiar halal. Rasulullah Saw bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung: pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi).
Tawakal dan kerja keras adalah kunci, namun Islam juga memahami kelemahan manusia: ketika kesulitan ekonomi datang, iman kita diuji agar tetap sabar dan tidak berputus asa.
Data menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental bukan hanya masalah individu, tapi juga berdampak luas pada ekonomi masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa gangguan mental menimbulkan beban ekonomi global sekitar 1 triliun Dolar AS per tahun. Angka ini berasal dari hilangnya produktivitas kerja akibat depresi, kecemasan, serta biaya perawatan bagi penderita.
Bayangkan, produktivitas miliaran hari kerja hilang karena pekerja tidak bisa optimal akibat masalah psikologis. Di Indonesia sendiri, Kementerian Koordinator PMK mengungkapkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan jiwa di negeri kita mencapai Rp20 triliun per tahun. Ini termasuk biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas masyarakat. Sungguh dampak yang besar!
Selain dampak ekonomi makro, secara mikro kesulitan ekonomi rumah tangga menekan kesehatan mental keluarga. Survei pada masa pandemi Covid-19 lalu memberikan pelajaran berharga: tekanan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan atau berkurangnya penghasilan memicu konflik rumah tangga dan bahkan perceraian. Banyak orang tua yang stress karena sulit memenuhi kebutuhan, sementara anak-anak merasakan kecemasan melihat orang tuanya kesulitan. Semua ini menunjukkan bahwa kestabilan ekonomi dan kesehatan mental saling terkait erat.
Islam menawarkan solusi dengan konsep ta’awun (tolong-menolong) ekonomi: zakat, infak, dan sedekah menjadi instrumen pemerataan agar jurang si kaya dan si miskin tidak terlalu lebar yang bisa melahirkan tekanan psikologis sosial.
Zakat fitrah yang baru saja kita tunaikan sebelum Salat Id adalah contoh nyata: agar saudara-saudara miskin bisa ikut bergembira di hari raya dan tidak larut dalam kesedihan karena himpitan kebutuhan. Spirit kepedulian ini menyehatkan jiwa–bagi penerima, bantuan tersebut meringankan beban pikirannya, dan bagi kita yang memberi, tumbuh rasa bermakna dan bahagia. Kajian psikologi modern-pun mengiyakan, bahwa berbagi dan berderma terbukti meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan stres karena kita merasakan purpose dalam hidup.
Maka, di hari Idulfitri ini marilah kita teguhkan solidaritas ekonomi. Jika ada keluarga atau tetangga yang kesulitan, ulurkan bantuan. Minimal, berilah ucapan dan doa penguat agar mereka tidak merasa sendiri. Allah Swt berjanji: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).
Ayat tersebut mengajarkan kita optimisme bahwa jalan keluar selalu ada, sehingga jangan biarkan himpitan ekonomi membuat kita putus asa. Tetaplah berusaha, berdoa, dan andalkan pula dukungan sesama muslim.
Jamaah idulfitri yang dirahmati Allah, manusia adalah makhluk sosial. Kesehatan mental kita sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan lingkungan di sekitar kita. Keluarga yang harmonis, sahabat yang peduli, dan masyarakat yang suportif adalah benteng kokoh bagi kesehatan jiwa. Sebaliknya, kesepian, isolasi, konflik sosial, atau stigma akan memperburuk kondisi mental.
Pengalaman pandemi kemarin memberi pelajaran betapa berartinya interaksi sosial bagi mental. Ketika penerapan karantina dan physical distancing, banyak orang merasa terasing dan cemas. Pejabat Kemenkes RI menyatakan di masa pandemi menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, dan tekanan mental akibat isolasi, pembatasan fisik, dan ketidakpastian. Sebuah survei oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menunjukkan 68% responden mengalami masalah psikologis selama pandemi. Mayoritas, yaitu 67% lebih, merasakan gejala kecemasan dan depresi. Bahkan hampir setengah dari mereka yang depresi (48%) sempat berpikir ingin mati atau menyakiti diri–na’udzubillah!
Hal tersebut mengindikasikan betapa beratnya beban mental akibat kesendirian dan tekanan hidup selama krisis kemarin. Sebanyak 74% responden juga mengalami gejala trauma psikologis seperti waspada berlebihan, merasa sendirian dan terisolasi. Kita bersyukur, perlahan kehidupan sosial telah normal kembali, namun data tadi menjadi pengingat bahwa dukungan sosial sangat krusial.
Dalam ajaran Islam, ukhuwah (persaudaraan) dan silaturahim bukan sekadar akhlak mulia, tapi juga kebutuhan psikologis. Nabi SAW bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai dan mengasihi adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, yang lain turut merasakan sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menekankan konsep empati kolektif–jika ada saudara yang menderita secara mental, lingkungan sekitarnya perlu peduli. Stigma terhadap penderita gangguan jiwa harus kita hilangkan. Jangan ada lagi anggapan bahwa depresi atau cemas hanyalah kurang iman.
Memang iman dan ibadah adalah terapi utama, namun ingatlah bahwa manusia juga butuh support system dari sesamanya. WHO mencatat bahwa remaja dengan gangguan mental sangat rentan mengalami penolakan sosial, diskriminasi, dan stigma, yang justru membuat mereka enggan mencari pertolongan dan memperburuk masalah.
Oleh karena itu, mari kita ciptakan iklim sosial yang terbuka dan menerima. Jika ada anggota keluarga atau teman yang menunjukkan gejala depresi, jangan dihakimi, tapi rangkul dan dengarkan mereka.
Idulfitri adalah momen tepat memperbaiki hubungan sosial. Setelah salat Id, tradisi kita adalah saling berkunjung, bermaafan, dan berkumpul dengan keluarga besar. Ini bukan sekadar tradisi tanpa makna–justru inilah obat sosial bagi jiwa-jiwa yang lelah.
Silaturahmi menghilangkan rasa sepi, menguatkan rasa memiliki (sense of belonging), dan memberikan dukungan emosional. Seseorang yang tadinya hampir putus asa bisa bangkit lagi semangatnya ketika bertemu saudara dan mendengar kata-kata dukungan. Jadi, marilah kita hidupkan kembali semangat kebersamaan pasca Ramadan ini. Jangan biarkan ada yang terisolasi. Tengok tetangga yang mungkin tinggal sendiri, kunjungi kawan yang baru kehilangan, eratkan kembali tali keluarga yang mungkin kemarin sempat renggang. Rasulullah Saw mengingatkan, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahim” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut sekaligus pesan spiritual dan psikologis: memutus hubungan hanya akan membawa sengsara, sedangkan menyambung kasih sayang membawa berkah dan kesehatan jiwa.
Hadirin yang bijak dalam memanfaatkan waktu, tak dapat kita pungkiri bahwa di era sekarang media sosial telah menjadi bagian besar dari kehidupan. Dari anak-anak hingga dewasa, banyak yang menghabiskan waktu berjam-jam di gawai untuk scrolling media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, dan lain-lain. Media sosial bak pisau bermata dua: ada manfaatnya dalam menyebarkan silaturahim dan informasi, namun tak sedikit mudaratnya bagi kesehatan mental jika digunakan secara berlebihan atau tanpa bijak.
Statistik menunjukkan betapa intensnya penggunaan media sosial, khususnya di Indonesia. Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam per hari di media sosial, bahkan termasuk peringkat tertinggi di dunia dan jauh di atas rata-rata global.
Bagi kalangan remaja, media sosial sudah seperti ruang berkumpul utama mereka. Namun, apa dampaknya terhadap jiwa? Penelitian-penelitian psikologi belakangan ini memberi peringatan keras. Sebuah studi yang dikutip Fakultas Psikologi UNAIR menemukan bahwa remaja yang menggunakan media sosial lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Waktu penggunaan yang berlebihan dikaitkan dengan peningkatan gejala depresi dan kecemasan pada remaja. Hal ini terutama disebabkan oleh fenomena perbandingan sosial dan cyberbullying di dunia maya.
Remaja yang tiap hari melihat postingan kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” dapat merasa rendah diri dan kurang berharga, apalagi jika mereka menjadi korban ejekan atau perundungan daring. Penelitian Primack et al. (2017) misalnya, menunjukkan kaitan kuat antara intensitas penggunaan media sosial dengan meningkatnya depresi pada anak muda, sebagian besar akibat membandingkan diri dengan orang lain di internet. Bahkan 46% remaja dalam sebuah survei di Amerika mengaku media sosial membuat mereka merasa lebih buruk tentang citra tubuh mereka.
Media sosial juga kerap menjadi ajang hoaks dan kabar negatif yang dapat memicu kepanikan dan emosi negatif berantai. Berapa banyak dari kita yang merasa mood terganggu setelah membaca komentar pedas atau berita buruk di timeline? Kecanduan media sosial pun nyata adanya: setiap notifikasi dan like memberikan dopamin sesaat yang membuat kita ketagihan, tapi jangka panjang mengikis kemampuan kita menikmati hal-hal sederhana.
Ironisnya, media sosial yang dimaksudkan untuk “sosial” justru bisa membuat orang anti-sosial di dunia nyata dan merasa kesepian. Berjam-jam menatap layar bisa mengurangi waktu berinteraksi langsung dengan keluarga di rumah. Padahal, studi menunjukkan mereka yang mengurangi penggunaan media sosial cenderung lebih bahagia dan kurang depresi dibanding yang terus-menerus online.
Lantas, bagaimana Islam memandu kita dalam hal ini? Islam mengajarkan prinsip wasathiyyah (moderasi) dalam segala hal. Waktu adalah amanah Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Menghabiskan waktu yang berlebihan di media sosial tanpa manfaat jelas akan merugikan, apalagi jika sampai melalaikan ibadah dan kewajiban. Al-Quran mengingatkan:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” (QS. Al-‘Asr [103]: 1-3). Ayat tersebut menegur kita agar tidak menyia-nyiakan waktu. Gunakan media sosial seperlunya, misalnya untuk silaturahim dengan kerabat jauh, berdakwah menyebar konten positif, atau mencari pengetahuan. Hindari tenggelam dalam scroll tanpa tujuan.
Selain itu, hindarilah ghibah (menggunjing) dan debat kusir di media sosial yang hanya menambah dosa dan stres. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah banyak dari prasangka… dan janganlah kalian saling menggunjing satu sama lain” (QS. Al-Hujurat [49]:12).
Ayat tersebut sangat relevan di era medsos: jangan mudah berprasangka buruk melihat postingan orang, dan jangan ikut-ikutan membully atau menyebar aib. Tahan jempol kita dari menulis komentar kasar. Ingat, yang kita hadapi di balik layar adalah manusia nyata yang punya perasaan.
Bagi para orang tua, mari awasi dan dampingilah penggunaan media sosial anak-anak kita. Jangan biarkan anak larut di dunia maya tanpa bimbingan. Jadilah teladan dengan juga membatasi waktu kita di gawai saat bersama keluarga. Ajak anak untuk melakukan kegiatan offline yang menyenangkan: olahraga, bermain di luar, hobi kreatif, dan tentu saja ibadah berjamaah. Seperti saran pakar, dukungan sosial nyata dari keluarga dan teman dapat mengurangi dampak negatif media sosial. Artinya, jika anak mendapat kenyamanan berkomunikasi dan curhat di dunia nyata, ia tak akan lari mencari pelarian sepenuhnya ke dunia maya.
Momentum idulfitri ini sangat baik untuk detoks digital sejenak. Saat berkumpul keluarga, kita taruh HP, kita fokus bercengkerama, menyambung rasa. Toh, semua “dunia maya” bisa menunggu sehari; yang di depan mata inilah yang lebih berharga. Manfaatkan momen ini untuk menguatkan kembali hubungan nyata. Setelah itu, kita bisa membuat resolusi pasca Ramadhan: mengontrol penggunaan medsos agar lebih proporsional. Insya Allah, jiwa kita akan lebih tenang dan waktu kita lebih berkah.
Menjaga Kesehatan Mental Pasca Ramadan
Jamaah yang berbahagia, setelah memahami berbagai tantangan kesehatan mental dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan pengaruh media, kini pertanyaannya: apa yang bisa kita lakukan?
Idulfitri menandai kemenangan kita melawan hawa nafsu selama sebulan. Kemenangan ini perlu kita teruskan dengan menjaga apa yang sudah kita latih di bulan Ramadan untuk kesehatan mental kita sepanjang tahun. Berikut beberapa langkah yang bisa kita upayakan bersama:
1. Perkuat Spiritualitas dan Ibadah – Ramadan melatih kita dekat dengan Allah. Lanjutkan kebiasaan baik seperti salat tepat waktu, tilawah Quran, zikir pagi petang. Spiritualitas yang kuat terbukti memberikan ketangguhan mental. Jiwa yang selalu ingat Allah akan lebih tenang menghadapi masalah (QS. Ar-Ra’d [13]: 28). Ketika stres melanda, ambil wudhu dan salatlah dua rakaat memohon petunjuk. Inilah coping mechanism terbaik bagi muslim.
2. Bina Hubungan Sosial yang Positif – Teruskan silaturahim tidak hanya di hari raya. Luangkan waktu rutin bertemu keluarga atau teman. Jadilah pendengar yang baik bagi kerabat yang curhat masalahnya. Dukungan sosial adalah obat mujarab untuk depresi. Jangan ragu juga untuk meminta bantuan atau sekadar bercerita kepada orang yang Anda percayai ketika beban terasa berat. Kita tidak ditakdirkan memanggul beban sendirian; ada Allah dan ada saudara seiman yang siap menopang.
3. Jaga Pola Hidup Sehat – Kesehatan fisik dan mental saling berkaitan. Tetaplah jaga pola makan seimbang meski lebaran penuh hidangan lezat; jangan berlebihan. Lanjutkan kebiasaan olahraga ringan yang mungkin sudah mulai saat puasa. Olahraga terbukti melepas hormon endorfin yang meningkatkan mood. Istirahat yang cukup, jangan balik lagi ke pola bergadang tak tentu. Tubuh lelah rentan membuat pikiran negatif.
4. Bijak dalam Pendidikan dan Karier – Untuk para pelajar, hadapi tahun ajaran atau semester baru dengan semangat seimbang. Kejar prestasi, tapi ingat atur waktu rekreasi. Untuk para orang tua dan pendidik, ciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan suportif. Hargai setiap usaha anak, bukan semata hasil. Tekankan pada mereka bahwa kegagalan bukan akhir dunia, tapi bagian dari proses belajar. Dengan mindset demikian, anak akan tumbuh tangguh dan tidak mudah stres menghadapi tantangan.
5. Atur Konsumsi Media dan Informasi – Pasca Ramadan, mari tetap filter tontonan dan bacaan kita. Hindari kembali larut dalam hiburan yang tidak bermutu apalagi merusak jiwa. Sesuaikan lagi penggunaan gadget: kurangi scrolling tak perlu, perbanyak interaksi di dunia nyata. Jika memungkinkan, tetapkan “puasa media sosial” berkala, misal sehari dalam seminggu tanpa medsos, untuk menyegarkan mental kita.
6. Kenali Batas dan Cari Bantuan Profesional bila Perlu – Islam mengajarkan “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” – Allah tidak membebani di luar kesanggupan (QS 2:286).
Jika merasa beban hidup atau emosi Anda sudah tak tertanggungkan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Berkonsultasilah dengan psikolog atau psikiater. Ini tidak menunjukkan lemah iman; justru ikhtiar ini bagian dari tawakal dan usaha. Alhamdulillah, pemerintah melalui Kemenkes telah menyediakan layanan konseling online maupun di Puskesmas untuk kesehatan jiwa.
Data Riskesdas 2018 menyebut di Indonesia terdapat lebih dari 19 juta orang usia >15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan 12 juta di antaranya depresi. Jadi Anda tidak sendirian – banyak orang bergelut dengan ini dan profesi kesehatan siap membantu. Dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW pernah didatangi seorang sahabat yang mengeluhkan sakit (baik fisik maupun mental), Nabi menyarankan untuk berobat seraya tetap bertawakal. Berobat adalah sunnah, maka tak perlu malu untuk terapi.
Hadirin yang dimuliakan Allah Swt, kesehatan mental adalah karunia dan amanah yang harus kita jaga sebagaimana kesehatan fisik. Idulfitri ini hendaknya menjadi titik tolak kita memperhatikan aspek-aspek tadi dalam diri dan keluarga kita. Jangan biarkan ekonomi sulit memadamkan cahaya harapan kita. Jangan biarkan kesibukan dan teknologi memisahkan kita dari keluarga dan ketenangan jiwa. Mari rangkul nilai-nilai Ramadan: sabar, syukur, empati, dan disiplin, untuk memperkuat kesehatan mental kita.
Terakhir, marilah kita berdoa kepada Allah SWT di hari yang mulia ini.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami jiwa yang tenang dan sabar. Jauhkanlah kami dari gundah gulana yang berlarut. Berilah jalan keluar bagi saudara-saudara kami yang dihimpit kesulitan ekonomi, sembuhkanlah yang sakit jasmani maupun rohani. Limpahkan kepada kami sakinah (ketenangan), mawaddah wa rahmah dalam keluarga dan masyarakat kami. Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang bersyukur saat lapang, bersabar saat sempit, dan senantiasa berbaik sangka atas takdir-Mu.
Semoga dengan bekal Ramadhan, kita mampu menjalani 11 bulan ke depan dengan mental yang lebih sehat, iman yang lebih kuat. Taqabbalallahu minna wa minkum, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
__________
Oleh: Dr. dr. Sukadiono, MM., adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan Kemenko PMK RI.