Kilas Balik Blok Ambalat: Dari Api Sengketa Menjadi Simbol Diplomasi

Kilas Balik Blok Ambalat: Dari Api Sengketa Menjadi Simbol Diplomasi

MAKLUMATLaut Ambalat, yang membentang di timur Kalimantan, menyimpan kisah panjang penuh gejolak antara dua negara serumpun—Indonesia dan Malaysia. Sengketa ini tak semata soal wilayah, tapi juga menyangkut kedaulatan, kekayaan migas, dan harga diri bangsa.

Semuanya bermula pada 1969. Indonesia dan Malaysia menandatangani perjanjian landas kontinen. Dalam perjanjian itu, Indonesia seperti dikutip dari penelitian UPN Veteran Jakarta, memasukkan Blok Ambalat ke dalam yurisdiksi nasionalnya. Namun, Malaysia membuat manuver sepihak. Pada 1979, negeri jiran itu menerbitkan Peta Wilayah Nasional versi mereka, yang secara terang-terangan mengklaim Ambalat sebagai milik mereka.

Langkah ini memicu sengketa. Indonesia segera merespons. Pemerintah merujuk pada Deklarasi Djuanda 1957 dan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982), menegaskan bahwa Ambalat masuk dalam landas kontinen Indonesia. Malaysia bersikukuh dengan dasar Undang-Undang Essential Powers Ordinance 1969 dan interpretasi mereka atas UNCLOS. Kedua negara pun bertahan pada posisi masing-masing.

Ketegangan mencapai puncaknya pada 2005. Malaysia memberi konsesi migas kepada Shell di wilayah yang masuk klaim Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim kapal perang TNI AL ke kawasan. Di laut, kapal perang kedua negara berhadap-hadapan. Situasi nyaris memicu bentrokan militer.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Ia memanggil Perdana Menteri Malaysia ke Jakarta dan menyerukan dialog. Meski begitu, pelanggaran terus terjadi. Pada 2007 dan 2015, kapal serta jet tempur Malaysia kembali masuk wilayah Ambalat. Presiden Joko Widodo menanggapinya dengan protes diplomatik dan pengerahan kekuatan militer tambahan.

Baca Juga  Sebut Warga Persyarikatan Capai 60 Juta Jiwa, BI: Keberhasilan Ekonomi Syariah Berkat Muhammadiyah

Indonesia tak tinggal diam. Pemerintah memperkuat posisinya dengan mengaktifkan pengelolaan Blok Ambalat melalui Pertamina sejak 2017. Langkah ini menjadi bukti kehadiran negara di kawasan yang diperebutkan.

Sementara itu, diplomasi terus berjalan. Kedua negara menolak menyerahkan kasus ke Mahkamah Internasional. Sebaliknya, mereka memilih berunding melalui Joint Commission for Bilateral Cooperation. Diplomasi jadi garda depan penyelesaian konflik.

Pemerintah Indonesia juga menjalankan strategi diplomasi perbatasan yang menyeluruh. Mereka mengedepankan pendekatan hukum, memperkuat ekonomi lokal, dan membangun jejaring sosial lintas batas. Tujuannya jelas: menciptakan stabilitas, menjaga kedaulatan, dan menyejahterakan masyarakat perbatasan.

Puncaknya terjadi pada 2025. Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim sepakat memulai eksplorasi bersama di Ambalat melalui skema Joint Development. “Kalau kita tunggu penyelesaian hukum, bisa butuh dua dekade. Lebih baik kita mulai dulu kerja samanya,” ujar Anwar.

Kini, Ambalat tak lagi menjadi bara sengketa. Kawasan ini berubah menjadi simbol kedewasaan diplomasi dua negara. Indonesia dan Malaysia sepakat menjaga kawasan ini, tidak hanya sebagai batas wilayah, tapi juga sebagai jembatan kerja sama lintas negara.

Laut yang dulu memisahkan, kini menyatukan harapan dan masa depan bersama.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *