MAKLUMAT – Halaman Kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) penuh dengan puluhan burung merpati. Burung itu memang dilepas petinggi kampus. Tapi pelepasan burung merpati ini bukan sekadar seremoni. pelepasan itu menjadi simbol semangat menjaga bumi dan lingkungan.
Di sisi lain, Kampus Putih juga menyerahkan ribuan tanaman sayur dan buah kepada mahasiswa. Mereka tak hanya akan menanamnya di tanah baru, tapi juga membawa gagasan: bahwa kuliah kerja nyata (KKN) bisa menjadi medium transformasi sosial.
Sebanyak 3.010 mahasiswa UMM resmi berangkat mengikuti program KKN Berdampak, pada 21 Juli 2025. Mereka akan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, mencakup 12 provinsi dan 53 kota/kabupaten—mulai dari Sumatera hingga Papua.
Tahun ini, UMM mengusung tema besar: ketahanan pangan, sejalan dengan agenda prioritas nasional dan kegelisahan atas ancaman krisis pangan yang kian nyata.
KKN dan Keteritakan pada SDGS
“Setiap mahasiswa wajib membawa bibit tanaman sayuran dan buah dalam sistem multikultur. Ini kewajiban,” terang Prof. Dr. Ir. Sutawi, M.P., Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UMM. “Harapannya, ini bisa jadi langkah konkret memperkuat ketahanan pangan lokal,” ia menambahkan.
Namun, lebih dari sekadar menanam bibit, KKN kali ini memiliki makna sebagai ruang belajar sosial sesungguhnya. Mahasiswa didorong mengasah kepekaan—membaca kondisi sosial ekonomi masyarakat, mengenali persoalan lokal, hingga menyusun solusi berbasis pendekatan ilmiah. Jadi, bukan semata-mata memboyong teori dari kampus.
Di tengah seremoni pelepasan merpati, UMM juga menekankan pentingnya kolaborasi. Mereka menggandeng lembaga seperti ATR/BPN dan Badan Pusat Statistik (BPS), agar mahasiswa bisa memahami, bagaimana data sosial-ekonomi, tata ruang, dan regulasi pembangunan memengaruhi kehidupan di akar rumput.
Kontribusi dan Sebaran KKN Berdampak
Rektor UMM, Prof. Nazaruddin Malik, M.Si., menyebutkan bahwa KKN bukan sekadar kegiatan rutin kampus, melainkan bagian dari kerja sosial yang menantang. “Mahasiswa harus mampu mengenali masalah dengan cara ilmiah dan lintas disiplin. Mereka harus jadi ‘pabrik solusi’, bukan pencipta masalah baru,” tegasnya.
Kawasan luar Jawa mencakup Riau, Badung, Bima, Lombok, Makassar, hingga Ternate menjadi ladang belajar. Sementara di Pulau Jawa, mereka akan hadir di Magetan, Blitar, Bangkalan, hingga Rembang. Di sana, para peserta KKN akan menjalankan program ketahanan pangan, edukasi gizi, hingga pendampingan UMKM lokal.
Figur Perubahan Sosial
Egita Dilafebrianti, mahasiswa Teknologi Pangan 2023, termasuk yang bersiap menjalani KKN di Desa Karangsono, Pasuruan. Ia menyambut baik tema dari kampus. “Relevansi ketahanan pangan sangat kuat, apalagi ini juga sejalan dengan program Presiden Prabowo Subianto yang mendorong kemandirian pangan desa,” ungkapnya.
Bersama timnya, Egita merancang sejumlah program seperti workshop keamanan pangan, pendampingan perizinan usaha mikro, hingga produksi makanan bergizi untuk balita lewat Posyandu. Namun, ia juga menyadari tantangan di lapangan. “Komunikasi dengan warga dan dukungan desa jadi kunci,” tambahnya.
Dalam konteks yang lebih luas, KKN UMM tahun ini seolah menjadi eksperimen sosial: seberapa jauh pendidikan tinggi mampu menjembatani teori dan kenyataan. Sejauh mana mahasiswa mampu hadir sebagai aktor perubahan, bukan sekadar pelaksana kegiatan berbasis proposal.