Koalisi Permanen Dinilai Bisa Gembok Parpol: Risiko Stagnasi Pilpres 2029 Menguat

Koalisi Permanen Dinilai Bisa Gembok Parpol: Risiko Stagnasi Pilpres 2029 Menguat

MAKLUMATWacana memasukkan konsep Koalisi Permanen ke dalam RUU Pemilu yang mulai dibahas Januari 2026 dinilai berpotensi mengubah peta strategi politik nasional. Konsep ini dianggap dapat “menggembok” fleksibilitas partai politik dalam membentuk poros, terutama menjelang Pilpres 2029.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menegaskan dampak aturan tersebut tidak bisa dipandang teknis semata. Jika koalisi diwajibkan mengikat sejak awal, partai praktis kehilangan ruang tawar yang selama ini menjadi strategi utama untuk menentukan pasangan capres–cawapres.

“Selama ini negosiasi capres–cawapres bergerak dinamis sampai detik terakhir. Partai menunggu survei terbaru, dinamika publik, dan kalkulasi elektoral. Kalau koalisi dipermanenkan jauh sebelum pemilu, ruang negosiasi itu langsung tertutup,” kata Arifki di Jakarta, Jumat (12/12/2025).

Ia mencontohkan PDIP, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, hingga PAN selama ini mengandalkan kemampuan bermanuver hingga batas akhir pendaftaran. Dengan aturan baru, partai-partai besar justru dipaksa mengunci arah lebih cepat tanpa mengikuti denyut politik yang berubah cepat.

“Koalisi yang dipaku terlalu awal membuat partai kehilangan kemampuan merespons realitas politik. Calon bisa terbentuk bukan karena kekuatan elektoral, tapi karena sudah terikat aturan,” tegasnya.

Arifki menilai konsep Koalisi Permanen membuka risiko stagnasi politik. Tanpa fleksibilitas, Pilpres 2029 dikhawatirkan tidak lagi menjadi arena kompetisi ide, melainkan sekadar formalitas administratif dari koalisi yang terbentuk jauh sebelum kontestasi dimulai.

Baca Juga  Bahlil Juga Berhak Menjadi Doktor di UI

“Pemilu kehilangan fungsi korektifnya. Publik hanya mengesahkan keputusan yang dibuat beberapa tahun sebelumnya,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa pada Pilpres 2024, peta koalisi berubah berkali-kali hingga menit terakhir. “Kalau fleksibilitas itu tidak ada, beberapa pasangan calon bahkan tidak akan pernah muncul,” tambah Arifki.

Selain mengurangi dinamika, lanjut dia, koalisi permanen juga berpotensi melahirkan poros dominan yang sulit ditandingi. Partai besar dapat merapat lebih awal dan mengunci kekuatan politiknya, sementara partai kecil kehilangan ruang untuk membangun poros alternatif.

“Ini mengurangi kompetisi dan mempersempit peluang lahirnya kandidat baru di Pilpres 2029. DPR wajib mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas. Pertanyaannya sederhana, apakah aturan ini membuat Pilpres lebih sehat atau justru membuat prosesnya kaku,” tandas dia.

Sebelumnya diinformasikan, gagasan Koalisi Permanen disampaikan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Wacana ini langsung memantik respons beragam, termasuk kritik yang menilai gagasan tersebut terlalu dini dan berpotensi menguntungkan partai tertentu.

Pembahasan resmi baru akan dimulai ketika DPR dan pemerintah menggodok RUU Pemilu pada awal 2026. Arifki berharap ruang diskusi tetap terbuka dan pemerintah tidak mengambil keputusan tergesa-gesa.***

*) Penulis: R Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *