
MAKLUMAT – Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur, Sri Untari Bisowarno, meminta agar penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur pembatasan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) ditunda terlebih dahulu.
Untari khawatir, nantinya rumah sakit (RS) milik pemerintah daerah yang selama ini sudah mengalami over kapasitas, bakal semakin tidak mampu untuk menampung pasien.
Terkait dengan itu, ia mengaku telah menerima banyak keluhan terkait aturan baru tersebut setelah berdialog dengan pihak RSUD dr Soetomo serta sejumlah RSUD milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
“Kami minta pemerintah pusat agar menunda kebijakan KRIS, karena belum tepat dilaksanakan pada tahun ini,” kata Untari saat di Surabaya, Selasa (18/3/2025).
Sekadar informasi, KRIS sendiri merupakan sistem baru yang akan menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan BPJS Kesehatan. Tujuannya adalah untuk menyamaratakan kualitas layanan rawat inap bagi seluruh peserta. Menurut ketentuannya, KRIS ditargetkan berlaku penuh mulai 30 Juni 2025 nanti.
Masalah Kepadatan Ruang Rawat Inap
Untari mengungkapkan, salah satu permasalahan yang menjadi sorotan utama adalah soal kepadatan ruang rawat inap, di mana KRIS mengatur bahwa dalam satu ruangan hanya diperbolehkan maksimal empat tempat tidur dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter.
Sedangkan, lanjutnya, kondisi saat ini di RSUD dr Soetomo rata-rata satu ruangan memiliki enam tempat tidur. “Nah, selama ini di RSUD dr. Soetomo rata-rata satu ruangan ada 6 tempat tidur,” terang politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu.
Lebih lanjut, Untari menilai bahwa kebijakan KRIS sebetulnya sangat baik, bermaksud untuk meningkatkan kenyamanan pasien BPJS di rumah sakit. Namun, dengan tingginya jumlah pasien BPJS di Jawa Timur, aturan tersebut berpotensi mempersulit pelayanan kesehatan.
Perempuan yang juga menjabat Sekretaris DPD PDIP Jawa Timur itu menjelaskan, berdasarkan data awal tahun 2025, terdapat 21.000 hingga 37.000 pasien rujukan BPJS yang harus dilayani RSUD dr Soetomo.
“Dengan adanya KRIS, praktis daya tampung rumah sakit harus dikurangi, karena hanya diperbolehkan menampung empat bed di satu ruangan rawat inap,” tegasnya.
Potensi Dampak Finansial RSUD dengan Penerapan KRIS
Selain itu, ia menyoroti dampak finansial yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan ini. Jika KRIS diterapkan di RSUD dr. Soetomo, potensi kehilangan pendapatan diperkirakan mencapai Rp 180 miliar. Menurutnya, hal ini dapat menjadi pukulan berat bagi keuangan rumah sakit.
“Sebelum KRIS diberlakukan saja RSUD dr Soetomo ini sudah overload, apalagi kalau nanti KRIS diterapkan,” tandasnya.
Menurut Untari, kebijakan tersebut belum sepenuhnya menjawab kebutuhan pelayanan kesehatan di Jawa Timur, terutama bagi pasien BPJS. Ia juga mempertanyakan solusi yang akan diberikan pemerintah untuk menutupi potensi penurunan pendapatan RSUD akibat pembatasan kapasitas tempat tidur.
“Ini bukan kebijakan yang memiliki sense of crisis di tengah sensitivitas kondisi kesehatan masyarakat,” imbuhnya. Ia juga menegaskan bahwa masalah ini bukan hanya terjadi di RSUD dr. Soetomo, tetapi akan berdampak pada seluruh rumah sakit lainnya.
Sebab itu, Untari mengungkapkan bahwa pihaknya di Komisi E DPRD Jatim berencana bakal segera berkoordinasi dengan Komisi IX DPR RI guna menyampaikan masukan dari daerah. Menurutnya, Perpres Nomor 59 Tahun 2024, yang merupakan perubahan ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, berpotensi menyebabkan tertundanya layanan kesehatan bagi masyarakat.
“Kalau layanan kesehatan terhadap masyarakat tertunda, pasti mortalitas (tingkat kematian) akan tinggi. Kalau tidak mortalitas tinggi, tentu keluarga pasien akan terus mengeluarkan biaya perawatan yang besar,” pungkas Untari.