DALAM konteks politik, Muhammadiyah mengambil peran-peran kebangsaan melalui kerja-kerja pembangunan masyarakat secara multiaspek. Namun, persyarikatan yang berdiri sejak 1912 ini juga tak luput dalam peran praktis guna mendorong kader-kader terbaiknya untuk berdiaspora di sektor-sektor pemerintahan.
“Secara kelembagaan Muhammadiyah mengambil peran politik kebangsaan atau kenegaraan maupun juga politik praktis, tapi tidak partisan. Muhammadiyah mendorong kadernya untuk terjun dalam politik praktis,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP), Jumat (29/9/2023) lalu.
Menurut dia, kader-kader yang terjun dalam politik praktis harus memahami bagaimana misi dan nilai-nilai Muhammadiyah, yang menjadi landasan dalam kerja-kerja politiknya, sehingga bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan dalam memperjuangkan hajat hidup umat.
Kader-kader persyarikatan juga harus menjadi teladan berpolitik secara makruf. Menurut Haedar, kaidah ushul fikih berlaku dalam konteks siyasah. Bahwa secara fikih pada dasarnya semuanya adalah boleh, kecuali hal-hal yang dilarang.
“Dalam politik itu berlaku banyak ushul fikih. Dalam kaidah ushul fikih itu banyak bolehnya, kecuali yang betul-betul dilarang. Tapi dalam politik Islam cenderung banyak larangannya, sedikit-sedikit kok tidak boleh,” ujarnya disambut gelak tawa dan tepuk tangan para peserta dari seluruh wilayah se-Indonesia.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menyorot ketertinggalan dunia Islam dalam konteks politik, sebab terlalu kaku dalam memandang dinamika politik dan berkutat pada perdebatan-perdebatan tentang sistem negara, sehingga malah menghasilkan apa yang disebut neo-revivalisme ataupun neo-fundamentalisme Islam.
Lebih lanjut, Haedar menjelaskan, politik dalam konteks keterpengaruhan beririsan kuat dan tidak bisa dilepaskan dari konteks dakwah. “Dan ternyata warga Muhammadiyah cenderung bersifat reaktif dan konfrontatif kalau bicara itu,” ungkapnya.
Dia mengajak agar umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah untuk lebih luwes dalam memandang konstalasi dan dinamika politik, serta agar mampu melihatnya secara multiaspek dan dari beragam sudut pandang.
“(Kita) akhiri perdebatan-perdebatan tentang sistem negara. Darul Ahdi Wa Syahadah itu kita sudah selesai dengan itu semua dan kita fokus pada mengisi dan berkontribusi bagi bangsa dan negara,” jelas Haedar. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto