MAKLUMAT — Krisis BBM yang terjadi di Kabupaten Jember sejak 26 Juli 2025 bukan sekadar persoalan kelangkaan bensin. Ini adalah potret dari bagaimana disfungsi dalam sistem dapat merembet dan berdampak luas pada kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, hingga psikologis masyarakat.
Antrean kendaraan di SPBU mengular hingga dua kilometer. Warga rela berdiri berjam-jam demi beberapa liter bahan bakar. Sebuah ironi yang mencolok di tengah semangat Indonesia menuju negara maju dan digital.
Penyebab utamanya memang telah diketahui: penutupan Jalur Gumitir akibat proyek pembangunan dan pengalihan arus lalu lintas Jember–Banyuwangi. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah lemahnya antisipasi dan lambannya respons pemerintah daerah dalam memitigasi efek berantai dari kondisi tersebut. Ketika distribusi BBM terganggu, semua sektor ikut terguncang—dari transportasi, logistik, perdagangan, layanan publik, hingga pendidikan.
Solusi Daring: Menyentuh Permukaan, Mengabaikan Akar
Menanggapi situasi ini, Bupati Jember menerbitkan Surat Edaran yang memperbolehkan sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan non-layanan publik untuk beraktivitas secara daring atau work from home (WFH). Secara administratif, kebijakan ini tampak solutif. Namun jika ditelusuri lebih dalam, langkah ini justru membuka kotak pandora ketimpangan sosial yang selama ini tersembunyi.
Dalam perspektif teori fungsionalisme struktural, krisis BBM merupakan bentuk disfungsi pada subsistem distribusi energi yang kemudian mengganggu fungsi sosial lain, seperti pendidikan dan ekonomi. Ketika sistem tidak berjalan normal, masyarakat berusaha menyesuaikan diri demi menjaga stabilitas sosial. Dalam konteks ini, kebijakan daring dan WFH merupakan bentuk penyesuaian sistemik agar tatanan sosial tidak sepenuhnya runtuh.
Namun, jika penyesuaian ini tidak dibarengi distribusi sumber daya yang merata, stabilitas tersebut hanya bersifat semu. Di sinilah teori konflik sosial memberi sorotan tajam: krisis ini menyingkap ketimpangan nyata dalam distribusi sumber daya. Siswa dari keluarga kelas menengah ke atas bisa mengikuti pembelajaran daring karena memiliki kuota, perangkat digital, dan ruang belajar yang memadai. Sebaliknya, siswa dari keluarga miskin tak memiliki ponsel pintar, apalagi koneksi internet. Mereka yang tinggal di wilayah pelosok kian terpinggirkan akibat terbatasnya infrastruktur digital.
Kebijakan yang terlihat adil di permukaan justru berpotensi memperlebar jurang kesenjangan sosial. Tanpa intervensi berupa distribusi sarana belajar daring secara merata, yang tertinggal akan semakin tertinggal. Cita-cita pendidikan inklusif pun hanya tinggal jargon.
Disorganisasi Sosial Mengintai
Kita juga tak bisa mengabaikan dampak psikososial dari krisis ini. Dalam kerangka teori disorganisasi sosial, perubahan mendadak—dari pembelajaran tatap muka ke daring serta pekerjaan yang berpindah ke rumah—berisiko memicu disintegrasi kontrol sosial.
Keluarga yang tidak siap mendampingi anak belajar, sekolah yang belum memiliki sistem pengawasan daring yang kuat, serta tekanan ekonomi yang meningkat menciptakan kombinasi berbahaya: potensi kenakalan remaja, penurunan motivasi belajar, hingga meningkatnya angka bolos dan putus sekolah.
Banyak orang tua yang mengeluh karena harus memilih antara mengantre BBM atau menemani anak belajar daring. Guru pun kewalahan menghadapi siswa yang tak bisa hadir karena keterbatasan sinyal atau gawai. Semua ini memperlihatkan bahwa struktur sosial kita rapuh dan belum memiliki sistem tanggap krisis yang memadai.
Dari Krisis Energi Menuju Krisis Sosial
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita tak hanya menghadapi kelangkaan BBM sebagai masalah logistik, tetapi juga sebagai ancaman krisis sosial yang lebih dalam. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang “Indonesia Emas 2045” jika distribusi energi saja tak mampu diantisipasi dengan baik? Bagaimana mungkin kita memimpikan transformasi digital jika sebagian siswa di Jember bahkan tak bisa mengakses kelas daring?
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Jember, sebagai organisasi pelajar yang konsisten mengadvokasi isu pendidikan dan sosial, mendesak Pemerintah Kabupaten Jember untuk tidak tinggal diam. Krisis ini tak boleh dianggap angin lalu. Pemerintah harus segera melakukan koordinasi lintas sektor—dari OPD, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, hingga Pertamina dan lembaga distribusi BBM lainnya—untuk mencari solusi konkret dan berjangka panjang.
Rekomendasi Langkah Strategis
Beberapa langkah strategis yang perlu segera dipertimbangkan:
-
Membentuk Satgas Khusus Krisis BBM yang melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil, termasuk IPM dan organisasi pelajar/mahasiswa lainnya.
-
Memprioritaskan distribusi BBM untuk sektor-sektor vital seperti pendidikan, layanan publik, dan transportasi umum.
-
Menyediakan fasilitas pembelajaran daring yang inklusif—bantuan kuota, peminjaman perangkat digital, atau rumah belajar komunitas berbasis RT/RW.
-
Memperkuat sistem pengawasan dan perlindungan anak selama masa transisi daring guna mencegah kenakalan dan menurunnya motivasi belajar.
Jangan Biarkan Masyarakat Jadi Korban Sistem
Krisis BBM di Jember bukan hanya soal kelangkaan bahan bakar, melainkan soal sistem sosial yang tidak tahan guncangan. Dari peristiwa ini, kita harus belajar. Pemerintah tidak boleh hanya responsif saat tekanan publik menguat, tetapi harus proaktif membangun sistem yang tangguh, adil, dan berpihak kepada rakyat kecil.
Jika tidak, kita hanya akan terus mengulang cerita lama: rakyat diminta bersabar dan menyesuaikan diri, sementara negara datang terlambat dan mengambil keputusan dengan lamban. Hari ini yang langka mungkin BBM, tetapi jika kita tak berubah, besok yang langka bisa jadi adalah kepercayaan publik—dan itu jauh lebih mahal.