Krisis Ekonomi: Pesan Allah bagi Keluarga Beriman

Krisis Ekonomi: Pesan Allah bagi Keluarga Beriman

MAKLUMAT — Di tengah derasnya arus kehidupan modern, krisis ekonomi menjadi salah satu ujian paling berat bagi banyak keluarga. Kenaikan harga kebutuhan pokok, ketidakpastian pekerjaan, hingga tergerusnya daya beli masyarakat, semua menyisakan keresahan yang sulit diabaikan. Tak sedikit keluarga yang terjebak dalam pusaran kecemasan, saling menyalahkan, hingga nyaris kehilangan harapan. Namun, bagi keluarga beriman, krisis ekonomi bukan sekadar soal angka dan materi. Lebih dari itu, ini adalah pesan spiritual yang menyentuh nurani tentang makna ketergantungan kepada Allah.

Krisis ekonomi ibarat musim kemarau panjang dalam kehidupan manusia. Ia memaksa siapa pun untuk menata ulang prioritas, memilah mana kebutuhan yang benar-benar penting dan mana yang sekadar keinginan. Di saat seperti itulah, Allah seakan sedang menyapa hamba-Nya, menguji seberapa kuat fondasi iman yang selama ini dibangun.

Al-Qur’an telah menggambarkan situasi semacam ini dalam berbagai ayatnya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 155, Allah berfirman, “Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” Ayat ini seolah menjadi pengingat bahwa kehidupan memang tidak selalu berjalan di atas rel kemudahan. Ada masa-masa sulit yang harus dilalui, bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk mendewasakan jiwa.

Keluarga, Benteng Iman Terakhir

Di tengah krisis, keluarga menjadi benteng terakhir tempat setiap anggota berlabuh. Ketika dunia luar terasa mencekam, rumah seharusnya menjadi ruang teduh untuk saling menguatkan. Sayangnya, tidak sedikit keluarga yang justru goyah, saling menyalahkan, atau sibuk memendam rasa frustrasi sendiri-sendiri. Di sinilah pesan Allah bagi keluarga beriman hadir: agar tetap bersatu, saling menopang, dan menjaga ketenangan hati.

Baca Juga  Kabinet Gemoy: Seberapa Efektif dan Efisien?

Keluarga yang beriman menyadari bahwa rezeki datangnya dari Allah, dan krisis yang terjadi bukan karena Allah lalai, tetapi karena ada hikmah besar yang hendak disampaikan. Terkadang, kesulitan itu datang untuk mengingatkan bahwa selama ini manusia terlalu larut dalam kenikmatan dunia, hingga lupa mensyukuri yang telah dimiliki. Krisis mengajarkan arti cukup, mengajarkan pentingnya hidup sederhana, dan menanamkan kembali nilai kebersamaan.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Tirmidzi, “Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah baik. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, dan itu baik baginya.” Inilah prinsip hidup yang seharusnya menjadi pegangan keluarga beriman di tengah badai ekonomi.

Momentum Menguatkan Empati

Di sisi lain, krisis ekonomi sejatinya juga menjadi ajang untuk membangun solidaritas sosial. Sebab di balik ketidakmampuan kita memenuhi sebagian keinginan, masih banyak orang lain yang bahkan untuk makan sehari saja sulit. Dalam kondisi demikian, keluarga beriman seharusnya tidak larut dalam kesedihan pribadi, melainkan membuka mata hati untuk turut peduli.

Fenomena gerakan berbagi di masa pandemi beberapa waktu lalu, menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat bisa saling menopang. Mulai dari berbagi sembako, uang belanja, hingga membuka dapur umum, semua itu lahir dari nilai empati yang dihidupkan oleh krisis. Semangat ini seharusnya tetap dijaga, sebab dalam Islam, keberkahan rezeki tidak diukur dari banyaknya angka, melainkan dari seberapa besar manfaatnya bagi orang lain.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Pendidikan: Refleksi di Hari Pendidikan Nasional 2025

Berharap, Bukan Berputus Asa

Satu hal penting yang perlu ditanamkan dalam hati setiap keluarga beriman adalah larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah. Surah Az-Zumar ayat 53 menyebutkan, “Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.

Konteks ayat ini bukan hanya tentang dosa, tetapi juga tentang harapan hidup. Selama napas masih berhembus, selalu ada jalan keluar yang Allah sediakan. Bisa jadi bukan berupa kelimpahan materi, tetapi ketenangan hati, keteguhan jiwa, dan ikatan keluarga yang semakin kokoh.

Karena itu, di masa-masa sulit seperti sekarang, hendaknya keluarga beriman memperbanyak doa, mempererat komunikasi antar anggota, serta saling menguatkan. Jadikan musibah ekonomi sebagai momentum untuk memupuk nilai kesabaran, syukur, dan tawakal. Jangan sampai krisis ekonomi justru merenggut ketentraman rumah tangga, sebab keluarga adalah pondasi terakhir umat yang harus tetap kokoh dalam kondisi apa pun.

Menata Ulang Prioritas

Selain itu, keluarga juga perlu menata ulang gaya hidup. Kebutuhan pokok didahulukan, sementara gaya hidup konsumtif dikurangi. Saat-saat seperti ini menjadi kesempatan belajar hidup sederhana, lebih menghargai rezeki sekecil apa pun, dan tidak memaksakan diri mengikuti standar sosial semu.

Justru dari keterbatasan itulah sering lahir inovasi-inovasi kecil dalam keluarga. Mulai dari berkebun di pekarangan, berjualan daring, hingga berbagi peran dalam rumah tangga. Semua itu adalah cara keluarga beriman bertahan dengan penuh kehormatan.

Baca Juga  Polemik PPN 12%; Ketum PP Muhammadiyah Minta Pemerintah Kaji Ulang

Iman: Harapan krisis ekonomi

Krisis ekonomi memang berat. Namun bagi keluarga beriman, ini bukan akhir segalanya. Ini adalah pesan Allah yang mengajak manusia kembali ke pangkuan-Nya, menyadari betapa lemahnya kita tanpa pertolongan-Nya. Kesulitan adalah cara Allah memuliakan hamba-Nya, bukan untuk ditakuti, melainkan untuk disikapi dengan iman dan keberanian.

Sebagaimana matahari yang tetap bersinar setelah badai, demikian pula keluarga beriman yang bertahan akan menemukan kemudahan setelah kesulitan. Karena itu, mari jadikan krisis ini sebagai sarana memperkuat keteguhan hati, mempererat ikatan keluarga, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Sebab sejatinya, di balik kesulitan selalu ada pesan kasih Allah bagi mereka yang sabar dan bersyukur.

*) Penulis: Prof. Dr. H. Triyo Supriyatno, M.Ag.
Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *