Kuota Haji 2024: Praduga Tak Bersalah, Polemik Hukum, dan Rasa Keadilan Jemaah

Kuota Haji 2024: Praduga Tak Bersalah, Polemik Hukum, dan Rasa Keadilan Jemaah

 

MAKLUMAT – Saat fajar membuka mata pada 9 Agustus 2025, publik pun tersentak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menaikkan status kasus kuota haji 2024 ke tahap penyidikan. Mereka menduga terjadi penyimpangan dalam pembagian 20.000 tambahan kuota haji spesial yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia.

KPK juga melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung perkiraan kerugian keuangan negara. Dalam hitung awal, kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp 1 triliun.

Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas diperiksa sebagai saksi selama tujuh jam. KPK juga memanggil berbagai pihak, yakni pejabat Kementerian Agama, pengurus travel haji, juga staf PBNU berinisial SB dan Zainal Abidin (Sekretaris LP PBNU) sebagai saksi.

Publik mulai mempertanyakan apakah semua pihak yang disebut telah melakukan kesalahan secara hukum? Belum tentu. Prinsip praduga tak bersalah menjadi ujian moral dan hukum yang tak bisa diabaikan.

Mari kita mulai dari data yang makin menguatkan urgensi keadilan dan transparansi dalam kasus ini, bukan hanya sebagai sistem hukum, tapi sebagai sebuah bagian dari kepercayaan publik.

Kasus bermula dari tambahan kuota haji 2024 sebanyak 20.000 calon jemaah dari Arab Saudi. Aturan di Indonesia, berdasarkan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menyebutkan  92 % kuota didistribusikan untuk haji reguler, dan 8% untuk haji khusus.  Namun pada pembagian tambahan ini, pemerintah menetapkan skema 50% reguler dan 50% khusus untuk jumlah tambahan tersebut.

Baca Juga  Gubernur NTB di Wisuda UMM: Pelaut Hebat Lahir dari Laut Bergelombang

Nama PBNU ikut disebut dalam opini publik sebagai pihak yang terlibat, walau hingga sekarang belum ada penetapan tersangka. Ini menghadirkan konflik nilai antara kewajiban hukum dan tuntutan opini publik.

 

Praduga Tak Bersalah dan Opini Publik

Kita tahu UU menetapkan  praduga tak bersalah berlaku terhadap siapa pun yang disebut dalam suatu perkara. Belum ditetapkan sebagai tersangka bukan berarti tidak bersalah. Proses hukum harus berjalan, bukti harus dikumpulkan, dan keputusan pengadilan diperlukan untuk menyatakan secara definitif.

Tetapi opini publik dan media sering bergerak lebih cepat: menyebut pihak terlibat, mengulas argumen pikir-pikir, sampai mengecam. Dalam kasus ini nama ormas keagamaan terbesar di Indonesia PBNU ikut terseret, meski sampai saat ini belum ada penetapan tersangka.

 

Rasa Keadilan Jemaah Reguler

Jemaah haji reguler yang antre bertahun-tahun berharap tambahan kuota menjadi angin segar. Mereka ingin waktu tunggu lebih pendek. Tetapi pembagian 50:50 tambahan kuota dirasa melukai ekspektasi, karena reguler kehilangan banyak — dari UU seharusnya 92% menjadi jauh di bawah saat tambahan dikonversi setengah-setengah.

Kondisi ini menimbulkan tanya: apakah keputusan dari diskresi atau pertimbangan lain yang dibenarkan hukum? Ataukah ada intervensi yang merugikan? Publik ingin tahu proses dan justifikasi di balik keputusan tersebut.

 

Ujian Hukum dan Moral

Hukum mengharuskan transparansi, pembuktian, dan keadilan. Butuh bukti yang sah, saksi yang kredibel, dan keputusan pengadilan yang final. Faksi institusi, baik Kemenag, pihak travel, PBNU, semuanya berhak atas perlakuan adil dalam hukum.

Baca Juga  Sektor Pertanian Pengaruhi Maraknya Beras Oplosan, Pakar: Penting Kenali Perbedaan Kualitasnya

Secara moral, publik juga harus menjaga batas antara tuduhan dan fakta. Media dan opini penting, tapi tidak boleh melejitkan vonis di ruang publik sebelum ada kepastian hukum.

Jadi, kasus kuota haji 2024 bukan hanya tentang angka dan regulasi. Ini soal kepercayaan publik terhadap lembaga negara, tentang keadilan bagi jemaah yang lama menunggu, dan tentang prinsip hukum yang harus ditegakkan: praduga tak bersalah. Pemerintah dan pihak terkait harus membuka seluas-luasnya proses hukum, agar publik bisa melihat keputusan muncul dari pertimbangan hukum, bukan politis.

*) Penulis: Rista Erfiana Giordano
Divisi Humas Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PWM Jatim, Redaktur Senior maklumat.id dan Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *