MAKLUMAT – Sejumlah posisi duta besar (dubes) strategis Indonesia masih kosong. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, angkat bicara soal kekosongan tersebut, termasuk untuk pos penting seperti Amerika Serikat (AS), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York dan Jenewa, serta Jerman.
Dasco menyebut, pemerintah telah menyiapkan nama-nama calon dubes untuk pos-pos tersebut. Nama-nama itu rencananya akan segera dikirim ke DPR RI guna menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh Komisi I.
“Kami dapat informasi dari pemerintah bahwa beberapa pos dubes penting itu orangnya sudah siap dan namanya juga siap dikirim ke DPR,” ujar Dasco dilansir laman Fraksi Gerindra, Rabu (25/6/2025).
Meski belum menerima nama secara resmi, Dasco memastikan bahwa DPR siap menindaklanjuti segera setelah surat resmi masuk. “Namanya sudah diinformasikan, tapi kita tunggu resminya dari pemerintah,” tambahnya.
Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, posisi-posisi yang masih kosong sangat strategis bagi diplomasi Indonesia. Karena itu, Komisi I bakal melakukan pendalaman serius terhadap kualifikasi calon dubes yang diajukan.
“Karena peran strategis, tentu ada beberapa syarat penting yang nanti akan disampaikan Komisi I saat uji kelayakan,” tegasnya.
Dasco menyebutkan, jadwal uji kelayakan akan dibahas dalam rapat internal DPR, termasuk Rapat Pimpinan dan Badan Musyawarah yang digelar bertepatan dengan awal masa sidang baru pada Rabu (25/6).
Salah satu kursi dubes yang menjadi sorotan utama adalah untuk Amerika Serikat. Jabatan itu kosong sejak Rosan Perkasa Roeslani ditarik pulang pada Juli 2023 untuk menjabat Wakil Menteri BUMN. Hingga kini, pos itu belum memiliki pengganti definitif.
Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah menyaring empat hingga lima kandidat akhir untuk posisi Dubes AS. Menteri Pertahanan Prasetyo Hadi menyebut proses konsultasi masih berlangsung dan keputusan akhir akan segera diumumkan.
Amerika Serikat merupakan mitra dagang sekaligus mitra strategis utama Indonesia. Kekosongan posisi Dubes RI di Washington DC selama hampir dua tahun dinilai menghambat efektivitas diplomasi. Meski negosiasi tetap dilakukan lewat jalur delegasi tinggi, keberadaan seorang duta besar dinilai krusial untuk memperkuat komunikasi dan memperlancar hubungan kedua negara.***