MAKLUMAT — Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tentang penggunaan sound horeg lahir dari keresahan masyarakat. Suara penolakan terhadap praktik penggunaan sistem audio berdaya tinggi ini menguat dan mendorong lahirnya satu fatwa yang bersifat publik. Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tidak muncul begitu saja. Melainkan melalui proses panjang yang melibatkan aduan warga, studi lapangan, hingga sidang terbuka lintas sektor.
Permohonan fatwa diajukan secara resmi kepada MUI Jawa Timur pada 3 Juli 2025. Dalam surat yang masuk, warga menyampaikan keprihatinan atas penggunaan sound horeg yang dianggap meresahkan, melanggar norma, dan mengganggu ketenangan lingkungan. Keluhan itu tidak berdiri sendiri. Bersamaan dengan surat tersebut, disertakan pula petisi penolakan yang ditandatangani oleh 828 orang dari berbagai wilayah di Jawa Timur.
Respons MUI tak berhenti pada telaah normatif keagamaan semata. Komisi Fatwa segera mengkaji permohonan itu secara komprehensif, dimulai dengan pengumpulan data empiris. Kajian lapangan dilakukan oleh tim, termasuk pengukuran tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh sound horeg di Kabupaten Jember. Dari hasil pengukuran itu, ditemukan bahwa suara yang dihasilkan bisa mencapai antara 120 hingga 135 desibel, melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO.
Selain itu, MUI juga mengumpulkan berbagai bukti visual dan data empiris dari lapangan. Dalam pengumpulan tersebut, tim menemukan video dan dokumentasi penggunaan sound horeg dalam sejumlah acara yang berlangsung di jalan umum, termasuk pertunjukan musik malam hari yang diiringi joget bebas di atas mobil terbuka. Dalam video tersebut tampak perempuan berjoget dengan pakaian terbuka diiringi sorakan massa, tanpa pembatas yang memadai antara laki-laki dan perempuan.
Acara-acara tersebut tidak hanya berlangsung hingga larut malam, tetapi juga melibatkan pengeras suara berdaya tinggi yang volumenya menembus 100 hingga 115 desibel dalam radius sekitar 15 hingga 100 meter dari titik sumber. Suara bass yang mendominasi menggetarkan dinding rumah warga sekitar dan terdengar hingga ratusan meter jauhnya. MUI menilai kondisi ini tidak hanya mengganggu ketenangan masyarakat, tetapi juga memfasilitasi bentuk-bentuk kemaksiatan yang terang-terangan dilakukan di ruang publik.
Temuan lapangan di Kabupaten Jember menjadi salah satu dasar penting dalam menyimpulkan bahwa fenomena sound horeg bukan sekadar hiburan, tetapi telah menjurus pada pelanggaran norma agama dan sosial. Berdasarkan fakta tersebut, MUI menegaskan bahwa praktik-praktik seperti itu tidak dapat ditoleransi, dan penggunaan sound horeg dalam konteks tersebut dihukumi haram.
Sidang Terbuka Komisi Fatwa
Puncaknya terjadi pada 9 Juli 2025, saat MUI Jawa Timur menyelenggarakan sidang terbuka Komisi Fatwa. Dalam sidang itu, hadir perwakilan dari Biro Hukum Pemprov Jawa Timur, tenaga medis ahli THT dari Universitas Airlangga, komunitas pengusaha sound system, dan warga terdampak. Forum ini menjadi ruang diskusi yang terbuka, argumentatif, dan mengakomodasi berbagai pandangan dari sisi agama, kesehatan, hukum, dan sosial.
Hasil sidang ini kemudian dirumuskan menjadi fatwa resmi. Pada 12 Juli 2025, MUI Jawa Timur secara sah menetapkan bahwa penggunaan sound horeg yang melebihi ambang batas wajar, merusak lingkungan, membahayakan kesehatan, atau disertai kegiatan maksiat dinyatakan haram.
Penggunaan sound horeg tetap diperbolehkan jika dalam batas yang wajar dan untuk kegiatan yang sesuai syariat. Sementara itu, penggunaan untuk battle sound dan ajang pamer kekuatan suara yang bersifat mubazir dihukumi haram secara mutlak. Jika penggunaannya sampai merugikan orang lain, maka wajib dikenakan ganti rugi.