
MAKLUMAT — Sebuah jendela kecil terbuka di lantai dua rumah toko di kawasan Pang Sang. Dari dalamnya, seorang pria paruh baya bersorban putih dan berwajah tenang memandang jalanan berselimut salju yang mulai mencair. Di kejauhan, menara masjid Chengen Sis tampak seperti lukisan tinta dalam gulungan sutra. “Dulu,” katanya pelan, “semua ini tempat para syekh dan saudagar membangun rumah, masjid, dan madrasah.”
Pang Sang, atau dikenal sebagai “8 masjid dan 13 lorong”, adalah jantung sejarah Islam di Linxia, kota kecil di provinsi Gansu yang dijuluki Makkah Kecil oleh warga China. Di sinilah Islam tumbuh dalam sunyi, mekar di antara lekuk pegunungan dan jalan berbatu, jauh dari hiruk sentral Beijing. Sekitar 55 persen dari 2 juta penduduknya adalah Muslim, mayoritas berasal dari etnis Hui—turunan para pedagang Persia dan Arab yang datang ratusan tahun silam melalui Jalur Sutra.
Masjid tersebar di setiap sudut kota. Jumlahnya mencapai 3.000, membuat Linxia menjadi salah satu kota dengan kepadatan masjid tertinggi di dunia. Tapi yang lebih mencolok bukan hanya jumlah, melainkan bagaimana masjid-masjid itu menyatu dengan kultur lokal: berarsitektur campuran—atap lengkung bergaya Han, namun dengan kaligrafi Arab membingkai gerbang-gerbangnya.
Chengen Sis, masjid tertua di Linxia, berdiri sejak era Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing, sekitar abad ke-17. Bangunannya terbuat dari kayu jati tua, dengan mimbar sederhana namun penuh kharisma. Imamnya berpakaian tradisional China, namun dengan surban putih melingkar di kepala, simbol identitas Islam yang tetap hidup meski berada dalam pelukan budaya Timur.
Di luar masjid, kehidupan Muslim Linxia bergulir tanpa gembar-gembor. Saat Ramadan tiba, kota ini berubah menjadi hamparan keheningan. Tak ada bunyi musik keras, hanya dengung bacaan Al-Qur’an dari masjid-masjid dan bisikan doa dari balik pintu rumah. Perempuan-perempuan Hui berkerudung melintas di pasar dengan sekeranjang kurma dan kacang rebus—menu berbuka khas daerah ini. Laki-laki berpeci putih duduk di warung teh, berdiskusi tentang ilmu agama dan cerita haji.
Linxia adalah sebuah kota yang berada di Provinsi Gansu. Nama lengkap dari kota ini adalah Linxia Hui Autonomos Prefecture Kota ini berjarak sekitar 150 Km sebelah selatan Lanzhou ibu kota Provinsi Ganzu China. Linxia terletak tepat di sebelah sungai Daxia. Dikutip dari Wikipedia, Linxia berasal dari Lin(sebelah/tetangga) dan “Xia” (Sungai Daxia). Kota Linxia dikelilingi oleh pegunungan seperti layaknya kota besar lainnya di Provinsi Gansu dengan ketinggian 1.917 mdpl. Populasi di Linxia sekitar 300.000 jiwa dengan sekitar 60% suku Hui, 35% Suku Han dan sisanya suku Tibet.
Linxia merupakan salah satu kota penting dalam sejarah jalur perdangangan barat-timur (jalur sutera) zaman dahulu (abad 2 sebelum masehi hingga abad ke 15), “silk road” membentang dari Roma di barat hingga bagian paling timur Cina. Penduduk Linxia sekitar 75 persenn di antaranya adalah muslim. Ada banyak masjid baik yang berasitektur arab juga terdapat banyak masjid berasitektur Cina bertebaran di Linxia, karena itu Linxia sering disebut sebagai kota Mekah kecil (Little Mecca) di Cina. Di Linxia terdapat suatu komunitas muslim penganut setia tarekat Qodiriyah.
Musa, 42 tahun, adalah pemilik toko kaligrafi Islam di pusat kota. “Saya tidak bisa bahasa Arab,” kata Musa kepada Youtuber @Rudy Chen, sambil menunjuk bingkai bertuliskan Bismillah dan Allah Muhammad dalam huruf kufi. “Tapi saya tahu ini artinya baik.” Ia mendesain sendiri setiap pola, lalu dikirim ke pabrik untuk dicetak massal. Produk-produknya laku keras, dibeli oleh warga sekitar dan bahkan dipesan dari kota-kota lain.
Namun iman di Linxia tak selalu berjalan mulus. Dalam dekade terakhir, kebijakan negara terhadap ekspresi keagamaan diperketat. Untuk berhaji, misalnya, warga harus mengantongi izin resmi dari pemerintah. Usia jamaah dibatasi antara 18 hingga 75 tahun. Setiap rombongan diawasi ketat. Bahkan, menurut warga, beberapa masjid di luar Linxia harus menyesuaikan kurikulum pengajian agar sesuai dengan “nilai-nilai China”.
Linxia, bagaimanapun, punya kekhususan. Kota ini secara de facto menjadi pusat pendidikan Islam non-resmi. Di lantai atas masjid-masjid, berderet kamar-kamar kecil yang dihuni para santri—remaja dari berbagai kota yang datang untuk belajar tafsir, fikih, dan bahasa Arab. Mereka belajar dari syekh lokal yang hafal ratusan hadits dan kitab klasik. Salah satu pengajar, Syaikh Ma Yun, mengatakan bahwa sistem ini mirip pesantren di Indonesia, “tapi murid di sini lebih sedikit, lebih dalam, lebih tenang.”
Di balik dinding madrasah, kota ini juga menyimpan sejarah luka. Pada masa Dinasti Qing, umat Islam pernah memberontak karena diskriminasi, dan ribuan nyawa melayang dalam pemberontakan yang dikenal sebagai “Pemberontakan Hui.” Jejak sejarah itu masih terasa dalam kehati-hatian warga Linxia. Mereka ramah, terbuka, tapi tak banyak bicara politik.
Kini, Linxia tengah menyesuaikan diri dengan modernisasi. Jalan raya dibangun, pasar diperluas, dan wisatawan mulai berdatangan—tertarik melihat wajah Islam yang bertahan dalam budaya Han. Tapi di tengah semua perubahan itu, satu hal yang tidak berubah: arah kiblat. Di setiap rumah, kompas kecil bertanda 272 derajat menjadi penunjuk tak terlihat ke Makkah. Seolah ingin menegaskan bahwa meski jauh dari Ka’bah, hati tetap terpaut ke arah yang sama.
Ketika matahari mulai tenggelam, suara azan kembali menggema dari masjid-masjid kota. Tak ada pengeras suara seperti di Indonesia, tapi dentingan lonceng besi dan ketukan bedug kayu menggema di antara lorong-lorong. Sebuah kota di utara China, berselimut salju, namun menyimpan panas keimanan yang tak padam.***