Luhut dan Purbaya: Dua Kutub Arah Ekonomi Nasional

Luhut dan Purbaya: Dua Kutub Arah Ekonomi Nasional

MAKLUMAT — Dalam pemerintahan, selalu ada wajah yang mengandalkan kekuasaan, dan yang bersandar pada perhitungan. Dua wajah itu kini tergambar jelas pada Luhut Binsar Pandjaitan dan Purbaya Yudhi Sadewa. Dua sosok yang seolah berdiri di poros berlawanan dalam mengarahkan ekonomi Indonesia.

Penulis: Nurkhan

Luhut adalah figur yang tak bisa dihindari. Ia hadir di hampir setiap urusan penting, dari hilirisasi tambang, energi baru, hingga investasi asing. Ia bukan sekadar menteri, tapi pengatur lalu lintas di jalan besar pemerintahan Jokowi. Ketika ada kebijakan yang macet, nama “Luhut” disebut dan semuanya tiba-tiba bergerak.

Ia bekerja cepat, memotong jalur birokrasi, bahkan melangkah di luar batas kementeriannya. Efisien, iya. Tapi juga menakutkan bagi siapa pun yang percaya bahwa negara harus berjalan lewat sistem, bukan lewat sosok.

Gaya Luhut adalah gaya pembangunan “gas penuh”: Indonesia harus maju sekarang, bukan nanti. Ia percaya pada kekuatan proyek besar dan investasi besar. Ia melihat masa depan lewat logika “siapa cepat, dia menang”. Namun di balik keberanian itu, muncul pertanyaan yang tak bisa dihindari ketika semua keputusan mengalir dari satu tangan, apakah kita masih berbicara tentang sistem, atau tentang individu yang menguasai sistem?

Di sisi lain, Purbaya Yudhi Sadewa berdiri dengan tenang. Ia ekonom, bukan politisi. Ia berbicara lewat data, bukan dominasi. Sebagai Ketua LPS, Purbaya menilai bahwa stabilitas lebih penting daripada pertumbuhan yang berisiko. Ia mengingatkan bahaya utang, ketergantungan investasi luar negeri, dan lemahnya transparansi dalam proyek raksasa. Bagi sebagian orang, ia terdengar seperti rem di tengah euforia. Tapi justru karena itulah suaranya penting.

Baca Juga  Tragedi Kemanusiaan di Gaza: Amerika dan Keanehan Itu

Dalam logika Luhut, pembangunan adalah lomba. Dalam logika Purbaya, pembangunan adalah maraton. Yang satu mengandalkan dorongan, yang lain mengandalkan keseimbangan. Keduanya punya niat baik, tapi berbeda dalam cara pandang terhadap “kemajuan”.

Konflik senyap di antara dua kutub ini menggambarkan dilema klasik bangsa ini, antara keinginan untuk cepat maju dan kebutuhan untuk tetap hati-hati.Indonesia ingin tumbuh pesat, tapi belum selesai membangun fondasi. Kita ingin jadi raksasa ekonomi, tapi masih lemah dalam transparansi dan tata kelola.

Dalam situasi seperti itu, figur seperti Luhut bisa tampak menyelamatkan karena ia bisa memotong jalan. Tapi bila sistem terlalu bergantung pada sosok, kekuasaan bisa menjadi candu yang membuat negara lupa belajar berjalan sendiri.

Sebaliknya, suara seperti Purbaya sering kalah gaung. Ia tidak punya pasukan, tidak punya pengaruh politik besar. Tapi gagasannya adalah peringatan yang sehat: bahwa ekonomi bukan hanya soal proyek, tapi juga soal kepercayaan dan keseimbangan. Dalam dunia yang haus prestasi cepat, kehati-hatian sering dipersepsikan sebagai kelemahan, padahal justru di situlah kekuatan jangka panjang bersembunyi.

Luhut dan Purbaya, dalam banyak hal, adalah dua sisi dari kebutuhan yang sama. Luhut menunjukkan bahwa Indonesia butuh keberanian. Purbaya menunjukkan bahwa keberanian tanpa kehati-hatian adalah bahaya. Satu mendorong mesin, satu menjaga remnya. Dan seperti halnya mobil, bangsa ini hanya akan selamat bila dua-duanya bekerja bersama.

Baca Juga  Pemilih Pemula Dominasi Pemilu 2024, Ketua Dikdasmen PWM Jatim Tekankan Pentingnya Pendidikan Politik di Sekolah

Masalah kita bukan pada siapa yang lebih benar, tapi pada sistem yang masih terlalu lemah untuk menyeimbangkan keduanya. Sistem yang membiarkan figur terlalu kuat, atau ide terlalu sunyi. Karena di negeri yang lebih percaya pada sosok daripada aturan, selalu akan ada Luhut baru yang naik, dan Purbaya baru yang terpinggirkan.

Mungkin, inilah saatnya kita berhenti bertanya siapa yang harus menang, dan mulai belajar dari keduanya. Dari Luhut, kita belajar bergerak. Dari Purbaya, kita belajar berpikir. Bangsa besar butuh keduanya, keberanian untuk menembus jalan, dan kebijaksanaan untuk tahu kapan harus berhenti.

Sebab kemajuan tanpa keseimbangan hanyalah percepatan menuju kejatuhan.***

*) Penulis: Nurkhan
Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo Panceng Gresik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *