Mahar Kursi Panas Ponorogo: Bayar Miliaran, Balik Modal dari “Fee” Proyek

Mahar Kursi Panas Ponorogo: Bayar Miliaran, Balik Modal dari “Fee” Proyek

MAKLUMAT — Kecemasan itu datang di awal 2025. Sebuah bisikan berembus di lingkungan birokrasi Ponorogo, singgah di telinga YUM, Direktur RSUD Dr. Haryono. Kabar itu singkat saja: kursinya bakal digoyang. Posisi yang ia duduki dengan nyaman, akan diganti.

Di sebuah kabupaten di mana rotasi adalah kuasa mutlak bupati, bisikan itu adalah alarm bahaya. Bagi YUM, kehilangan jabatan bukanlah pilihan. Maka, ia bergerak. Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (8/11/2025), melukiskan bagaimana YUM tidak tinggal diam.

Bupati Ponorogo SUG (Sugiri Sancoko) saat dipamerkan di KPK. Petugas menunjukkan uang tunai Rp500 juta yang disita saat OTT KPK pada 7 November 2025 di Ponorogo. Foto:Tangkapan Layar @Youtube KPK

Ia tahu ke mana harus mengadu. Tujuannya adalah AGP, Sang Sekretaris Daerah. AGP adalah birokrat senior. Sosok yang telah duduk di kursi Sekda sejak 2012, melintasi berbagai era kepemimpinan. Ia adalah stabilisator. Dan bagi YUM, ia adalah jembatan.

Keduanya berkoordinasi. Sebuah rencana disusun untuk menyiapkan “sesuatu”. Mahar untuk mengamankan kursi panas itu. Tujuannya satu: SUG, Bupati Ponorogo.

Transaksi pertama mengalir pada Februari 2025. Lewat seorang ajudan, Rp400 juta diserahkan dari YUM untuk Sang Bupati. Kursi itu mulai terasa sedikit lebih kokoh.

Tapi, agaknya, mahar itu perlu dicicil. Pada periode April hingga Agustus, YUM kembali merogoh kocek. Kali ini, Rp325 juta ia serahkan melalui sang ‘jembatan’, Sekda AGP.

Bagi seorang pejabat publik, dari mana uang sebanyak itu datang? Pertanyaan itu menggantung di udara, namun tertutup oleh derit birokrasi yang kembali berjalan normal. YUM tetap duduk di kursinya.

Tapi, roda terus berputar. Pada awal November 2025, badai itu datang lagi. Pada 3 November 2025, SUG, sang bupati, memanggil. Kali ini, permintaannya fantastis: Rp1,5 miliar. Sebuah angka yang membuat YUM harus mencari-cari.

Tiga hari berlalu, pada 6 November, SUG kembali menagih. Uang itu harus segera ada. Kepanikan melanda. Pada 7 November, YUM mengumpulkan apa yang ia bisa. Ia menghubungi IBP, teman dekatnya, dan ED, seorang pegawai bank Jatim. Uang tunai senilai Rp500 juta berhasil dicairkan.

Baca Juga  TTL Perkuat Legalitas dengan Bantuan Kejari Surabaya

SUG sedang sibuk hari itu. Ia tak bisa menerima langsung. Maka, ia menunjuk NNK, kerabat SUG, untuk mengambil titipan itu. YUM menyerahkan buntelan uang itu kepada NNK. Setelah diterima, NNK melapor kepada bupati bahwa uang sudah di tangan.

Apa yang mereka tidak tahu, tim KPK telah mengendus aroma transaksi ini. Saat itulah satgas bergerak. Uang tunai Rp500 juta diamankan. Dingin, kaku, menjadi barang bukti dari mahar yang gagal sempurna.

Total, untuk sebuah kursi direktur RSUD, YUM telah menggelontorkan Rp1,25 miliar. Lalu, dari mana datangnya uang itu? Jawabannya, seperti kata Asep Guntur, adalah sebuah lingkaran setan. Sebuah rantai berkarat yang mengikat birokrasi dari hulu ke hilir.

“Ketika untuk memperoleh jabatan harus menyerahkan sejumlah uang,” kata Asep, “maka si pejabat, ketika sudah menjabat, akan mencari cara mengembalikan uang itu.” Dan YUM, tampaknya, tahu persis caranya.

Penyidik KPK membuka buku catatan tahun 2024. Di sana, tertera sebuah proyek pekerjaan di RSUD yang dipimpin YUM. Nilainya besar, Rp14 miliar. Dari proyek itu, YUM diduga meminta fee kepada SC, sang rekanan swasta.

Besarannya adalah standar tak tertulis dalam dunia gelap pengadaan: 10 persen. Sekitar Rp1,4 miliar masuk ke kantong YUM.

Uang haram itu, menurut KPK, tidak ia nikmati sendiri. Ia membaginya. Uang itu mengalir lagi ke atas, diduga kepada SUG. Diserahkan melalui tangan ADC Bupati (SGH) dan adik Bupati (ELW). Lingkaran itu sempurna.

Baca Juga  Dukung Perampingan BUMN, Anggota DPR Sebut Demi Iklim Bisnis Produktif

Blueprint Korupsi Politik

Kasus di Ponorogo ini, bagi KPK, bukanlah anomali. Ia adalah sebuah blueprint, sebuah pola yang berulang di banyak daerah. Sebuah potret telanjang dari korupsi politik yang menggurita. Para politikus yang di musim kampanye “mengemis” suara, berkhianat begitu terpilih.

Wuryono Prakoso, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK dalam artikel pada 23 Januari 2023, menyebutnya sebagai modus klasik pertama: Penyalahgunaan Jabatan.

“Modus ini,” kata Wuryono seperti dilansir , “kerap dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan dalam memutuskan atau menyetujui regulasi atau besaran anggaran negara.”

Merekalah yang berkuasa melancarkan promosi-mutasi pegawai, seperti yang diduga dilakukan SUG. Merekalah yang bisa menetapkan mitra-mitra pembangunan, seperti yang dilakukan YUM dengan memalak fee proyek dari SC.

Korupsi ini, lanjut Wuryono, juga menjadi alat balas jasa terhadap kelompok atau penyandang dana kampanye. “Saat terpilih, kekuatan yang mereka kuasai hanya untuk kepentingan segelintir orang. Suara rakyat tidak didengar lagi,” ujarnya. “Pelayanan publik juga pasti tidak akan optimal.”

Akar dari penyalahgunaan jabatan ini seringkali tertanam jauh sebelum sang politisi dilantik. Ia lahir dari modus kedua:

Korupsi pada Momen Elektoral.

Inilah yang melahirkan “mahar politik”, persis seperti yang dibayarkan YUM untuk kursinya. Mahar yang besarannya, kata Wuryono, bisa mencapai miliaran rupiah ini mampu membuat pemberinya berada di posisi teratas. “Hal ini akan membuat para kader berintegritas yang merintis dari awal… kalah saing sehingga mundur,” jelasnya.

Bagi petahana seperti SUG, yang kembali terpilih untuk periode kedua, godaannya lebih besar lagi. Aset dan anggaran dikuasai. “Misalnya penggunaan kendaraan dinas, stadion, atau pengerahan kepala-kepala dinas untuk turun berkampanye. Itu semua korupsi,” tegas Wuryono.

Baca Juga  Risma Cicipi Makanan Khas Madura, Yakin Bisa Bawa Kuliner Lokal Mendunia

Lingkaran ini ditutup oleh modus ketiga: Korupsi pada Momen Pembuatan Kebijakan. Ini adalah transaksi tingkat tinggi sebagai balas jasa terhadap para oligark yang membantu meringankan biaya politik.

“Biaya politik itu tinggi,” kata Wuryono, “dan kandidat jarang membayarnya menggunakan uang pribadi. Otomatis dia akan terima sumbangan dari oligarki.”

Akibatnya, politikus akan terbelenggu. “Produk legislasi dan keputusan yang dihasilkan tidak akan objektif,” lanjutnya. Bentuknya bisa berupa pemenangan tender pengadaan barang dan jasa, kemudahan izin usaha, hingga regulasi yang menguntungkan sebagian pihak saja. Persis seperti dugaan fee 10 persen yang diterima YUM dan mengalir ke SUG dari rekanan SC.

Cermin Retak Ponorogo

Kini, SUG, AGP, YUM, dan SC telah mengenakan rompi oranye di rutan KPK. Mereka menjadi wajah dari sistem yang digadaikan.

KPK membeberkan data ironis. Skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Ponorogo terus menurun, dari 75,87 pada 2023 menjadi 73,43 pada 2024. Komponen pengelolaan SDM-nya anjlok paling dalam, terjun bebas dari 78,27 menjadi 71,76.

“Kegiatan tangkap tangan ini,” ujar Asep Guntur, “secara valid mengkonfirmasi data tersebut.”

Lampu blitz kamera menyorot tumpukan uang Rp500 juta yang dipamerkan. Uang itu menjadi saksi bisu. Bukan lagi sekadar alat tukar, tapi simbol dari sebuah kompetisi yang telah lama rusak.

Wuryono Prakoso, dalam analisisnya, memberikan peringatan keras. Memberantas korupsi di sektor inilah yang menjadi kunci. Ia menutupnya dengan sebuah statistik yang menohok.

“Korupsi politik,” kata Wuryono, “mencapai sekitar 70 persen dari seluruh kasus yang ditangani oleh KPK. Jika ini bisa ditangani, maka korupsi bisa lebih mudah diberantas di Indonesia.”***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *