Mahkota Akademik: Antara Kebanggaan dan Keterasingan Pemikiran

Mahkota Akademik: Antara Kebanggaan dan Keterasingan Pemikiran

MAKLUMAT — Di negeri ini, gelar akademik kerap dijadikan lambang kebanggaan, bendera identitas sosial—seolah sertifikat itu sendiri adalah lencana kehebatan, yang melekat di belakang nama dan membuat pemiliknya dianggap serta-merta bijak, dipercaya, dan punya otoritas berpikir. Tapi apa arti gelar itu jika akal sehatnya terbungkus hampa? Jika dia mampu meraih ataupun menyelesaikan pendidikan baik ditingkat sarjana, magister ataupun doktoral, tapi ironisnya bukan mampu memahami realitas?

Angga Adi Prasetya, M.Pd.
Angga Adi Prasetya, M.Pd.

Fenomena ini bukan sekadar keganjilan pribadi—ia adalah refleksi sistem pendidikan yang sering tersapu oleh bayang-bayang formalitas. Ketika gelar diberikan bukan sebagai bukti sebuah perjalanan berpikir, melainkan sebagai trofi; ketika kuliah bukan sebagai proses transformasi, melainkan rutinitas untuk “titik cetak ijazah”. Maka terjadi paradoks: kita punya banyak lulusan tapi sedikit orang yang benar-benar merenungi makna, yang mampu memilah antara kepalsuan retorika dan kejujuran logika.

Sebuah gelar akademik memang sah secara administratif itu tanda telah melewati masa studi, tugas, ujian. Namun, apakah itu menjamin kematangan cara berpikir? Apakah seseorang dengan ijazah pertanian otomatis mampu menyimak sains dengan sudut pandang ilmiah? Apakah pemegang gelar manajemen bisa membedakan usaha yang etis dari yang manipulatif? Di mata publik, terlalu sering kita menyaksikan orang yang memakai status akademik sebagai pelindung dari kritik, sebagai tameng atas pandangan yang tak riset, sebagai alasan untuk mengabaikan dialog yang bersifat membuka pikiran.

Baca Juga  Memaknai Idulfitri Secara Hakiki

Kita hidup di antara simbolisme: toga yang megah, gelar panjang di belakang nama, foto wisuda yang dipamerkan, semua ini bisa jadi hanya topeng yang menutupi keraguan intelektual. Bukankah seharusnya gelar menjadi panggilan untuk terus bertanya, untuk tetap meragukan diri sebelum menyimpulkan, untuk tak pernah puas hanya karena telah memiliki cap ijazah?

Dan betapa sedihnya jika pendidikan menjadi mahkota kosong, bila yang diburu bukanlah kebijaksanaan, melainkan publisitas. Bila seminar dipilih karena akan membuat sertifikat berkilau, bukan karena memperluas wawasan. Bila karya ilmiah dibuat bukan sebagai karya pemikiran, melainkan formula yang bisa dilewati dengan teknik, bukan kedalaman.

Sejarak mana kita melangkah ketika gelar dianggap sebagai akhir, bukan awal? Ketika ijazah dianggap simbol pencapaian tertinggi, bukan batu pijakan untuk terus menuntut kebenaran, memperdalam rasa ingin tahu, mempertajam nurani dalam menghadapi problematika nyata. Karena pada akhirnya, gelar bukan untuk dipamerkan sebagai hiasan, melainkan untuk meningkatkan kualitas. Bukan hanya tentang seberapa panjang deretan huruf di belakang nama, tetapi seberapa berat pertimbangan dan seberapa tulus motivasi yang membentuknya.

Maka, jangan biarkan gelar hanya menjadi ornamen kosong di balik nama. Biarlah ia tumbuh menjadi cermin kejujuran, ladang amal ilmu, dan jalan untuk memanusiakan sesama. Karena hakikat pendidikan bukanlah sekadar mendaki menara gelar, melainkan menyalakan pelita hikmah.

Teruslah belajar meski ijazah sudah digenggam, sebab kehidupan jauh lebih luas dari ruang kuliah. Kelulusan  bukan hanya menyimpan teori di kepala, tapi juga menghadirkan cahaya di hati dan karya nyata di bumi. Sebab mahkota akademik sejati bukan yang bertengger di atas kepala, melainkan yang berakar di dalam jiwa.

Baca Juga  Saudi-Pakistan Teken Pakta Pertahanan: Lahirnya “NATO Muslim”?
*) Penulis: Angga Adi Prasetya, M.Pd.
Guru SD Muhammadiyah 1 Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *