Makan Gaji Buta di DPR RI: Nonaktif, Hak Istimewa Jalan Terus

Makan Gaji Buta di DPR RI: Nonaktif, Hak Istimewa Jalan Terus

MAKLUMAT – Tiga partai politik—Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai NasDem—memutuskan menonaktifkan lima anggota DPR RI. Keputusan ini muncul setelah kontroversi ucapan dan sikap mereka terkait tunjangan wakil rakyat.

Mereka yang dinonaktifkan antara lain Adies Kadir (Golkar), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Sury Utama alias Uya Kuya (PAN), serta Nafa Urbach dan Ahmad Syahroni (NasDem). Surat penonaktifan itu beredar luas lewat pesan berantai WhatsApp dan media sosial. Tiga sekretaris jenderal partai pun sudah membenarkannya.

Pertanyaannya: apakah penonaktifan itu berarti kelimanya berhenti sebagai anggota DPR RI dan kehilangan hak-haknya?

Potensi PAW yang Mandek

Merujuk Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020, status mereka tidak otomatis hilang. Pasal 9 ayat (4) menyebutkan, pergantian antarwaktu (PAW) baru bisa dilakukan setelah anggota pengganti mengucapkan sumpah di rapat paripurna. Pasal 14 ayat (2) huruf d menegaskan PAW harus ada usulan dari partai politik sesuai ketentuan hukum.

Pemberhentian sementara pun sebenarnya hanya berlaku jika seorang anggota menjadi terdakwa pidana dengan ancaman minimal lima tahun penjara, dan itu pun harus lewat putusan berkekuatan hukum tetap (Pasal 19). Fakta bahwa kelimanya tidak terjerat kasus hukum membuat jalan PAW praktis tertutup.

Artinya, nonaktif bukan berhenti. Mereka hanya tidak bisa mewakili fraksi maupun parpol dalam kegiatan DPR RI.

Nonaktif Tetap Terima Gaji

Baca Juga  Komisi XII DPR Dukung Langkah Bahlil Hentikan Tambang Nikel Raja Ampat

Di sinilah paradoksnya. Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 menyebut, anggota yang diberhentikan sementara tetap berhak atas hak-hak keuangannya. Dengan kata lain, Adies Kadir, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan Ahmad Syahroni masih akan menerima gaji dan tunjangan bulanan.

Mereka absen dari rapat, tak bisa mewakili partai, tapi tetap menerima uang negara. Publik pun bertanya-tanya: bukankah ini definisi paling gamblang dari makan gaji buta di DPR RI?

Sanksi Etika atau Gimik Politik?

Jika mereka kelak bisa kembali aktif karena tak tersangkut masalah hukum, penonaktifan ini tampak sekadar formalitas. Seakan partai hanya ingin cuci tangan di hadapan publik, tanpa konsekuensi nyata bagi kadernya.

Di balik drama surat penonaktifan dan narasi sanksi, rakyat tetaplah pihak yang menanggung biaya. Setiap rupiah gaji dan tunjangan anggota DPR RI nonaktif itu berasal dari pajak masyarakat.

Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah partai benar-benar serius menegakkan etika, atau sekadar memainkan gimmick politik untuk meredam kritik?

*) Penulis: Rochman Arief

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *