MAKLUMAT — Apa yang sebenarnya kita beli ketika memesan kopi susu gula aren seharga tiga puluh ribu rupiah lewat aplikasi? Apakah kita sedang membeli kafein, rasa, atau semacam kenyamanan order yang bisa diantar tanpa harus berbicara dengan siapa pun?
Slavoj Zizek (21 Maret 1949, 76th), filsuf eksentrik asal Slovenia dengan logat medok, gaya nyentrik, dan rambut acak, menyebut Coca-Cola sebagai objek ideologis murni. Ia bukan minuman biasa ala kadarnya.
Coca-Cola, menurutnya, adalah simbol kenikmatan yang tak pernah memuaskan. Kita meminumnya bukan karena haus, melainkan karena ingin merasakan sesuatu yang tidak bisa kita definisikan. Hasrat yang tak pernah selesai, tapi terus dicari.
Demikianlah konsep dari teorinya yang disebut Nihilisme Coke atau Paradoks Kokas. Dan, di Indonesia, kita mungkin sedang hidup dalam versi lokal dari logika Coca-Cola ini. Kita tidak sedang membeli produk. Kita membeli rasa, citra, cerita, dan semacam pembenaran eksistensial bahwa kita juga bagian dari dunia yang bergerak atau setidaknya terlihat bergerak.
Kopi kekinian adalah salah satu contohnya. Store atau brand dengan memakai nama-nama sejenis mantra sosial semisal Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Lain Hati, Tomorrow, AADK (Ada Apa Dengan Kopi), Chatime, dan lain-lain. Semua itu mampu mendobrak hasrat dan obsesi kita untuk membelinya.
Padahal, kita tidak tahu kopi itu dari biji mana. Kita juga tidak paham bagaimana proses penyeduhan kopi-kopi tersebut. Malahan yang terjadi adalah kebanyakan di antara kita ada yang tidak menyukai kopi dan tetap berhasrat membeli.
Saat membelinya, sebenarnya kita sedang memaksa menemukan dan meneguk citra diri, sebagai insan yang produktif, urban, terhubung dengan tren. Selebihnya, ia bisa dipotret dengan baik untuk keperluan konten Instagram atau sekadar dijadikan story WhatsApp.
Atau lihatlah mie instan yang dulunya makanan darurat kini menjelma sebagai sajian eksklusif setelah melalui proses modifikasi dengan skala yang masif dan cara persuasif. Indomie Real Meat, Mie Goreng Wagyu, sampai varian rasa rendang Padang ala bintang lima. Atau nama-nama store F&B (Food and Beverage) seperti Gacoan, Wizzmie, Djoetek, dan lainnya.
Padahal kita tahu: micin tetaplah micin dan tepung tetaplah tepung. Tapi dalam kemasan baru, kemiskinan pun bisa terasa glamor. Slavoj Zizek mungkin akan tertawa; bahkan kesederhanaan bisa dikomodifikasi, asal dikemas dengan cerita dan harga yang membuat kita merasa lebih tinggi dari sekadar “anak kos”.
Lalu ada produk-produk syariah (sabun, pasta gigi, air mineral, bahkan aplikasi finansial) yang menjanjikan bukan hanya kebersihan jasmani tapi juga spiritual. Seolah-olah dengan memakai deterjen halal, kita bisa membersihkan noda baju sekaligus dosa kecil yang menempel di jiwa. Ini versi lain dari Coca-Cola Zero: kita ingin menikmati dunia, tapi tanpa rasa bersalah. Kapitalisme paham, dan ia menjual pengampunan dalam bentuk promo 11.11.
Botol plastik dengan label daur ulang, kantong belanja ramah lingkungan yang tetap kita buang, sedekah digital yang menenangkan hati lebih dari membantu orang, semua ini bagian dari ritual konsumen yang ingin merasa baik tanpa harus berubah. Kita tidak ingin mengubah sistem, kita ingin sedikit lebih nyaman dalam sistem itu.
Bahkan makanan viral yang meledak di TikTok tak lagi soal rasa. Dalgona, Jagung Tarik, Croffle, martabak KitKat, boba warna-warni, dan lain-lain, semua hadir bukan untuk memanjakan lidah, tapi memuaskan mata dan algoritma. Kita tidak makan karena lapar, kita makan agar eksis. Makanan jadi aksesori sosial. Seperti Coca-Cola, mereka menjanjikan momen, bukan isi. Sensasi tanpa fundamen.
Kita haus, tapi tak tahu apa yang sedang kita cari. Kita kenyang, tapi merasa kosong. Kita konsumsi banyak hal, tapi seringkali hanya untuk menutupi lubang di dalam diri, lubang yang tidak bisa diisi oleh rasa manis, diskon besar, atau nama-nama indah di gelas plastik.
Slavoj Zizek tidak meminta kita berhenti minum Coca-Cola atau belanja online. Ia hanya mengajak kita sadar, bahwa mungkin kita sedang hidup dalam dunia yang menjual hasrat dan rasa bersalah dalam kemasan yang sama. Bahwa mungkin, seperti soda, kenikmatan itu hanya berbuih di permukaan.
Karena kadang, berpura-pura bahagia lebih mudah daripada mengakui bahwa kita sedang merana. Dan kapitalisme tahu itu. Ia tahu, dan ia menjualnya dalam bentuk promo bundling beli dua, dapat rasa lega dan seolah berdaya.