MAKLUMAT — Kasus keracunan massal yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah di Indonesia menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) ternyata berpotensi menjadi ancaman nyata bagi kesehatan siswa.
Di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, 411 siswa tercatat menjadi korban, Rabu (24/9/2025). Kasus serupa pernah menimpa 127 siswa di Kabupaten Sleman, DIY, dan 427 siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, Agustus 2025 lalu.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), mencatat hingga pertengahan September 2025 tercatat sebanyak 5.360 anak keracunan pascakonsumsi MBG– jumlah ini nampaknya belum diperbarui kasus di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail dalam keterangan tertulis, menutup dapur penyedia MBG dan memerintahkan investigasi. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana dalam sidak di Cipongkor, Selasa (23/9/2025) lalu, menilai kelalaian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai penyebab utama.
Meski fasilitas dapur memenuhi standar higienis, praktik di lapangan menunjukkan celah serius: makanan disiapkan terlalu awal, disimpan lama, dan distribusinya tidak terkontrol.
Kejadian serupa di Sleman dan Bengkulu mengungkap persoalan sistemik yang lebih mendasar. Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, menyebut laboratorium menemukan tiga jenis bakteri berbahaya—E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus—pada sampel makanan dan muntahan korban di Bengkulu. “Ini memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan,” ujarnya.
Selain persoalan teknis, muncul skandal kebijakan yang mengkhawatirkan. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengungkap adanya praktik bermasalah berupa surat pernyataan yang memaksa orang tua tidak menuntut atau menceritakan kasus keracunan di sekolah dan madrasah, termasuk kasus di SDN 17 Napo, Polewali Mandar, dan MTs Negeri 2 Brebes.
Menurutnya, ini menunjukkan pemerintah berupaya lepas tangan dari tanggung jawab, sementara anak-anak dijadikan korban. “Negara seakan berkata, kalau anakmu keracunan, itu risiko sendiri,” tegas Ubaid.
Pakar UGM Sri Raharjo menekankan pentingnya standar higienitas: makanan seharusnya tidak disimpan lebih dari empat jam, air masak harus bersih, dan penjamah makanan memahami perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Koordinasi dan evaluasi yang lemah membuat sistem ini belum berjalan efektif.
Moratorium MBG
Sebagai langkah nyata, pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium MBG sampai sistem pengawasan, prosedur produksi, dan mekanisme pertanggungjawaban benar-benar diperbaiki. Penyedia katering harus bisa menerapkan batch cooking, uji laboratorium mandiri, serta memastikan bahan baku aman. Siswa, orang tua, dan masyarakat pun berperan aktif dengan memantau kualitas makanan dan melaporkan gejala keracunan.
Kasus Cipongkor, Sleman, Bengkulu, dan ribuan korban lainnya menegaskan satu hal: niat baik tanpa pengawasan ketat bisa menjadi bencana. Anak-anak berhak mendapatkan nutrisi yang aman, bukan risiko. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk menghentikan sementara program MBG. Jeda barang sebulan atau dua bulan bisa digunakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Jangan biarkan generasi muda kembali menjadi korban kelalaian sistemik.***