WAKIL Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Ma’mun Murod mengungkapkan, problem utama Persyarikatan Muhammadiyah belum bisa luwes berpolitik adalah karena adanya cara pandang politik yang belum sama di antara aktivisnya.
“Ini adalah permasalahan tersendiri. Cara pandang politik yang belum sama ini harus harus kita selesaikan lebih dulu, sebelum melangkah jauh,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut.
Ma’mun menerangkan, salah satu cara pandang politik yang belum sama itu di antaranya ketika politik masih saja dianggap kotor, busuk, dan tidak baik. Sehingga, sisi negatif dari politik yang selalu ditonjolkan daripada maslahat-nya. Kondisi tersebut tak ayal membuat Persyarikatan Menjauhi menjauhi politik kekuasaan.
Selain itu, kebanyakan warga Persyarikatan memandang aktivitas politik sebagai bagian atau bentuk dari ibadah mahdah. Karena itu harus dilakukan dan dijalankan secara puritan. Padahal, politik itu kan hanyalah urusan muamalah.
“Politik bukanlah urusan ibadah, tapi urusan muamalah. Karena itu berlaku kaidah fikih, semuanya boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Prinsip beribadah warga Muhammadiyah secara puritan itu jangan dipakai dalam politik praktis,” pintanya.
Ketua Kornas Fokal IMM itu menyatakan, selama masih bernama manusia, tak terkecuali mereka yang terjun ke gelanggang politik praktis, tidak akan mungkin seseorang akan lepas dan terbebas dari perbuatan ‘kotor.
“Nah, yang kita harus lihat itu kadar kotornya seberapa. Kalau bisa ditolerir ya sah-sah saja. Karena baik atau buruk itu ada tidak hanya di politik,” ungkap Ma’mun.
Lebih lanjut Ma’mun menengarai, alasan utama di balik politik masih belum dianggap penting oleh Muhammadiyah itu, lantaran adanya pengaruh atau propaganda kaum Islam phobia. Yang terus mengkampanyekan bahwa politik itu kotor, tidak baik dan politik itu memuat hal negatif lainnya.
“Kaum Islam phobia membuat masjid tidak boleh dipakai untuk aktivitas politik. Para penceramah dan mubaligh dijauhkan dari aktivitas politik. Jadinya orang-orang yang terlibat politik itu dianggap hina dina,” tandasnya. (*)
Reporter: Antonius WU
Editor: Aan Hariyanto