MAKLUMAT — Pekan lalu, suasana di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya begitu semarak. Saya berkesempatan menghadiri sidang terbuka promosi doktor Suli Da’im, MM.
Sosok yang kini menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Timur ini sukses mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pola Rekrutmen dan Kaderisasi Sumber Daya Manusia serta Strategi Pengembangan Organisasi Partai Politik di Jawa Timur.
Sidang ini dipimpin oleh jajaran akademisi ternama dari Program Doktor Ilmu Manajemen STIESIA, yakni Prof. Dr. Budiyanto, MS, selaku Ketua Program Studi, dengan didampingi oleh Promotor Prof. Dr. Pribadiyono, MS, dan Co-Promotor Dr. Khuzaini, MM.
Ketiganya memberikan apresiasi atas hasil penelitian Suli yang dinilai inovatif dan relevan dengan dinamika organisasi partai politik di Jawa Timur.
Namun, yang menarik perhatian bukan hanya kualitas disertasi Suli Da’im, tetapi juga antusiasme luar biasa dari para tamu undangan. Pihak STIESIA bahkan mengakui bahwa sidang terbuka ini menjadi salah satu acara dengan jumlah hadirin terbanyak dalam sejarah kampus tersebut.
Gedung yang digunakan untuk ujian penuh sesak oleh keluarga, kolega, dan kerabat Suli. Bahkan tak satu pun kursi tersisa. Para aktivis, pejabat rektorat, legislator, pimpinan ormas, dan lainnya hadir. Sebagian tamu yang tak kebagian tempat duduk rela menunggu di luar ruangan demi memberikan dukungan kepada sosok yang mereka banggakan.
Acara ini juga mencerminkan betapa kuatnya hubungan emosional yang dimiliki Suli Da’im di antara keluarga, kolega, dan komunitasnya. Kehadiran yang begitu masif dari berbagai lapisan masyarakat menunjukkan bahwa perjalanan akademik Suli bukan hanya tentang pencapaian pribadi, tetapi juga tentang inspirasi yang ia bawa bagi orang-orang di sekitarnya.
Saya bukan politisi, juga bukan aktivis politik. Tapi bagi saya, masalah politik terlalu menarik untuk diabaikan. Itu sebabnya, banyak buku politik yang saya koleksi di rumah. Beberapa seminar tentang politik juga kerap saya ikuti.
Minat saya terhadap politik bukan berarti saya ingin terjun langsung ke dalamnya, melainkan karena saya percaya bahwa memahami politik adalah bagian penting dari menjadi warga negara yang sadar.
Betapa pun, politik memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan kita, mulai dari kebijakan publik hingga kehidupan sehari-hari. Dengan membaca buku-buku politik dan mengikuti seminar, saya merasa lebih mampu menganalisis dinamika sosial. Selain itu, saya juga memahami keputusan-keputusan yang berdampak luas, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Awalnya, saya penasaran jika Suli Da’im akan meraih gelar Doktor Ilmu Manajemen. Lantas, apa hubungannya dengan partai politik?
Rupanya, dia mengamati tiga faktor penting yang harus dimiliki oleh partai politik untuk membangun manajemen partai yang sehat. Ketiga faktor tersebut adalah rekrutmen, kaderisasi sumber daya manusia, dan strategi pengembangan organisasi.
Suli Da’im menjelaskan bahwa rekrutmen merupakan pintu awal untuk memastikan partai politik memiliki anggota yang berkualitas dan sejalan dengan visi partai. Proses ini tidak hanya soal jumlah, tetapi juga kualitas individu yang direkrut.
Kaderisasi menjadi langkah berikutnya, yaitu upaya untuk membentuk anggota partai agar memiliki kompetensi, loyalitas, dan kemampuan kepemimpinan yang mumpuni.
Sementara itu, pengelolaan sumber daya manusia yang profesional menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan organisasi partai, baik dari segi struktur maupun kinerja.
Dalam disertasinya, Suli menyoroti bagaimana ketiga faktor ini saling berkaitan dan menjadi fondasi utama dalam membangun manajemen partai yang modern dan responsif.
Tanpa rekrutmen yang terarah, kaderisasi yang strategis, dan pengelolaan SDM yang baik, partai politik akan kesulitan untuk berkembang dan menghadapi tantangan zaman.
Penelitian ini memberikan perspektif baru tentang pentingnya pendekatan manajerial dalam memperkuat organisasi politik, khususnya di Jawa Timur.
Banyak berondongan pertanyaan yang dilontarkan kepada Suli Da’im. Salah satu yang paling seru adalah soal politik dinasti dan mahar politik.
Suli Da’im menjabarkan, politik transaksional itu datang dari partai politik. Hal ini karena dalam internal partai politik ada persaingan yang begitu ketat untuk mendapatkan rekomendasi dari petinggi partai.
Dalam konteks ini, potensi terjadinya politik transaksional sangat besar. Jumlah mahar politik pun tidak kecil. Menurut dia, pendekatan transaksional antarcalon yang ingin maju dengan petinggi partai sudah menjadi hal lumrah di negeri ini. Siapa yang memiliki basis kapital, dialah pemenang.
Pada akhirnya, calon pemimpin daerah tidak lagi ditinjau dari aspek kualitas, melainkan finansialnya. Saya jadi teringat Anis Matta, Ketua Umum Partai Gelora. Dalam acara di MetroTV pada 13 Agustus 2023, dia mengatakan bahwa setiap politisi harus menjawab satu pertanyaan ini: apa yang membuat orang lain mau membayar? Apakah dia dari investor, shareholder, kader, struktur, pendiri, atau lainnya?
Menurut Anis, secara psikologis, alasan orang yang membayar mahar politik bisa dilatarbelakangi oleh persamaan kepentingan, baik terkait ideologi maupun persahabatan. Namun, ideologi atau kepentingan semuanya bertemu pada satu persoalan dasar, yaitu trust (kepercayaan).
Anis lalu memberi ilustrasi pengalamannya saat kampanye sebagai politisi di Sulawesi Selatan. Ketika itu, dia sempat didaulat menjadi pembicara dengan konten politik di hadapan khalayak ramai.
Dalam pemaparannya, Anis menjabarkan ide dan gagasan yang didasarkan pada teori dan praktik di lapangan, didukung oleh data-data yang telah diolah.
Sepulang dari acara, Anis mengaku amat sangat kecewa. Ini karena respons audiens dingin-dingin saja menanggapi ceramahnya. Minimnya respons dari publik yang mendengarkan ceramahnya membuat dirinya merasa menjadi orang bodoh yang tidak berhasil meyakinkan dan memengaruhi publik di sana.
Sebaliknya, Anis mengaku pernah diundang untuk ceramah, tetapi kali ini dia tidak berbicara soal politik, melainkan memberikan ceramah terkait Maulid Nabi. Responsnya jauh berbeda dengan saat dirinya menyampaikan materi politik. Masyarakat di sana menyambut dengan sangat antusias.
Dari acara Maulid itu, Anis mengaku menjadi sering diundang ke acara-acara serupa yang terkait dengan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) seperti Isra’ Mi’raj, 1 Muharram, dan lain sebagainya. Bahkan, saking antusiasnya, masyarakat rela urunan untuk menyiapkan jamuan makanan seperti layaknya pesta pernikahan yang mewah.
Pertanyaannya, kenapa masyarakat rela dan bermurah hati mengeluarkan uang pribadi melalui urunan untuk mengundang dirinya menjadi pembicara?
Anis menegaskan, kerelaan masyarakat tersebut yang kemudian mendukung dirinya terjadi karena mereka merasa mendapat tambahan pengetahuan (knowledge).
Lantas, kenapa harus ada mahar politik? Anis menegaskan bahwa para politisi di Indonesia dihadapkan pada trap (perangkap) political marketing (pemasaran politik). Di mana ada serangkaian aktivitas terencana, strategis, dan praktis dalam menyebarkan makna politik kepada pemilih untuk menyukseskan kandidat atau partai politik dengan metode atau pendekatan marketing.
Penggunaan pendekatan marketing memberikan inspirasi tentang cara seorang kandidat membuat “produk” berupa isu dan program kerja berdasarkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.
Dalam situasi liberal democracy (demokrasi liberal) seperti yang terjadi di Indonesia, sebut Anis, political marketing bekerja dengan mekanisme pasar. Ada mekanisme take and give. Hal itu yang membuat parpol tidak memiliki dampak signifikan untuk mengubah kehidupan orang.
Masih kata Anis, politik mahar itu tidak bisa ditolak. Hal itu merupakan fakta yang tak bisa dielakkan. Politik mahar tidak terkait (related) dengan diperbolehkan atau tidak, tetapi dengan inti dari pertukarannya.
Mahar politik adalah keharusan jika dia bermakna untuk pencapaian tujuan. Dalam politik, sangat mustahil bisa memenangi pertarungan tanpa logistik.
Dalam kesimpulannya, Suli Da’im menekankan bahwa proses rekrutmen dan kaderisasi adalah keharusan mutlak yang harus dijalankan oleh partai politik. Secara fundamental, partai politik memiliki empat fungsi utama, yaitu sebagai sarana komunikasi politik, rekrutmen, sosialisasi, dan pengatur konflik politik.
Rekrutmen dan kaderisasi politik merupakan bagian integral dari fungsi partai untuk memastikan keberlangsungan eksistensi partai dalam dunia politik. Proses kaderisasi, menurut Suli, adalah penjaringan anggota yang sifatnya terbuka, didasarkan pada persamaan cita-cita, tujuan, dan orientasi politik.
Proses ini bertujuan untuk menciptakan kader yang siap mendukung dan memperjuangkan ideologi serta tujuan partai. Dalam setiap momentum politik, partai seharusnya mempersiapkan kader yang kompeten untuk menduduki jabatan politik.
Proses kaderisasi yang efektif harus dilaksanakan secara disiplin, sesuai dengan ideologi partai, serta memperhatikan regenerasi dan jenjang karier politik yang jelas. Hal ini penting untuk menghindari pencalonan non-kader yang dapat menghambat perjuangan ideologi partai.
Sebaliknya, kader partai yang telah melalui proses kaderisasi yang matang akan memiliki loyalitas tinggi dan mampu secara konsisten menerjemahkan serta memperjuangkan visi partai dalam sistem politik.
Suli juga menyoroti pentingnya mekanisme rekrutmen yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pengembangan kapasitas kader. Rekrutmen yang didasarkan pada komitmen ideologis partai akan menciptakan kader yang tidak hanya berkualitas tetapi juga memiliki dedikasi terhadap perjuangan partai.
Namun, jika partai politik gagal memenuhi standar tersebut, publik cenderung menilai partai sebagai pragmatis, yang pada gilirannya dapat mengurangi simpati masyarakat terhadap partai tersebut. Akibatnya, kesinambungan arah dan perkembangan partai politik menjadi terancam.
Lebih lanjut, Suli menegaskan bahwa dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat, terutama generasi muda, partai politik harus mengintensifkan sosialisasi politik. Edukasi politik melalui sosialisasi bertujuan membentuk orientasi politik individu agar mereka memahami mekanisme dan proses menjadi anggota partai.
Sosialisasi politik yang efektif juga dapat menarik lebih banyak generasi muda untuk terlibat aktif dalam partai, sekaligus menjadi bagian dari proses kaderisasi di masa depan. Pada akhirnya, Suli Da’im mengingatkan bahwa partai politik bukan sekadar kendaraan kekuasaan, tetapi institusi yang harus menanamkan nilai, visi, dan dedikasi bagi bangsa.
Rekrutmen, kaderisasi sumber daya manusia, dan pengembangan organisasi bukan hanya soal membangun kekuatan partai, melainkan tentang membentuk generasi pemimpin yang memiliki integritas dan keberpihakan pada rakyat.
Jika partai politik mampu menjalankan fungsinya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, maka bukan hanya eksistensi partai yang terjaga, tetapi juga harapan akan lahirnya pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata bagi masa depan negeri ini.
*Penulis adalah Cerpenis dan Wartawan Senior Tinggal di Surabaya