KARUT-marut penerapan peraturan perundang-undangan dalam pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 perlu menjadi perhatian serius. Hal itu dalam rangka mewujudkan demokrasi yang kredibel. Juga sekaligus menjamin hak-hak warga negara dalam proses dipilih dan memilih dalam jabatan publik.
Sebagaimana kita ketahui, dalam Pemilu 2024 yang lalu, Irman Gusman dicoret oleh KPU dari daftar calon tetap (DCT) peserta pemilihan DPD Sumatera Barat. Pencoretan dengan dalih yang bersangkutan adalah mantan narapidana tindak pidana korupsi yang belum melewati masa jeda 5 tahun setelah bebas murni. Dari sinilah kita banyak mengambil hikmah dari perjalanan mencari keadilan hukum sosok Irman Gusman, mulai melakukan gugatan ke Bawaslu, PTUN dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari kasus Irman Gusman ini, untuk memahami secara komprehensif (menyeluruh) harus kita lihat beberapa aturan perundang-undangannya, yaitu: Pertama, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 240 huruf g, yang berbunyi (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kecuali, terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
(ii) Bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 yang berbunyi “Dalam Pokok Permohonan menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum: Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kecuali, terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Ketiga, Putusan PTUN Jakarta No. 600/G/SPPU/2023/PTUN-JKT, dalam putusannya menyatakan “Mencabut Keputusan KPU 1563/2023 (tentang Pencalonan DPD) dan selanjutnya menerbitkan keputusan tentang penetapan Pemohon (Irman Gusman) masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD.”
Keempat, Putusan MK No. 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024, dalam amar putusannya, satu Membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dua memerintahkan KPU untuk melaksanakan Pemilu Ulang DPD di Sumatera Barat, dan tiga mengikut sertakan saudara Irman Gusman sebagai calon peserta pemilu DPD.
Kelima, UU TIPIKOR No. 1 / 2019 dan No. 20 / 2021 Pasal 11, berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Sebagaimana kita ketahui bersama melalui banyak pemberitaan media masa, bahwa dalam perkara tindak perkara korupsi saudara Irman Gusman dikenakan pasal 11 UU Tipikor tahun 2021 yang ancaman hukumannya minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara. Disinilah problematikanya ketika di dalam UU Pemilu frasa “…, narapidana yang diancam 5 tahun atau lebih,…” ada irisan batas dimana satu sisi menyatakan maksimal 5 tahun, sisi yang lain ada kata diancam 5 tahun atau lebih, dan KPU bersikeras bahwa Pasal 11 UU 21 Tahun 2021 (meskipun ancaman hukumannya 1 sampai 5 tahun) bagi narapidana yang mau maju dalam Pemilu Legislatif dan DPD harus menunggu jeda selama 5 tahun setelah bebas murni.
Penafsiran dan Keputusan KPU ini kemudian batal demi hukum setelah adanya Keputusan MK 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 dalam perkara permohonan Irman Gusman yang memerintahkan dilakukan Pemilu Ulang untuk DPD di Sumatera Barat dan memasukan yang bersangkutan sebagai salah satu calon peserta DPD.
Atas kasus di atas, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan untuk pembelajaran dan koreksi kita bersama yaitu: Pertama, persoalan syarat calon Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota maupun syarat calon untuk Pilkada yang menyangkut mantan narapida berpatokan pada Pasal Ancaman, bukan besarnya tuntutan oleh jaksa maupun besaran putusan hukuman yang dijatuhkan hakim.
Kedua, perdebatan soal tafsir menyangkut batas pasal ancaman hukuman, menilik putusan MK nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 bahwa bagi narapidana yang diancam maksimal atau dibawah 5 tahun maka tidak perlu lagi menunggu jeda 5 tahun setelah bebas murni apabila mau mencalonkan dalam pemilu.
Ketiga, bahwa Upaya hukum bagi warga negara yang menyangkut proses pemilihan (pemilu dan pilkada) banyak sekali pintu yang bisa ditempuh untuk melawan Keputusan KPU yaitu melalui Bawaslu (sengketa proses), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk sengketa Keputusan KPU maupun melalui Mahkamah Konstitusi (MK) untuk persoalan perselisihan hasil (meskipun bakal calon dalam masa tahapan bersengketa dengan KPU tentang proses pencalonan tidak ditetapkan sebagai calon oleh KPU).
Keempat, adanya ketidakpatuhan penyelenggara pemilu (KPU) dalam menjalankan amar putusan pengadilan (dalam kasus ini putusan PTUN Jakarta), sehingga azas kepastian dan keadilan hukum harus terus kita kawal Bersama.
Lalu bagaimana soal syarat calon dalam Pilkada serentak 2024 nanti, apakah putusan MK nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 bisa dijadikan yurisprudensi bagi calon yang mantan narapidana korupsi? Tunggu ulasannya dalam bagian kedua opini selanjutnya.
Zaenudin, ST., MAP., Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik, Ketua LHKP PDM Kota Malang