MAKLUMAT — Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk meneguhkan cinta sekaligus meneladani ajaran serta akhlak Rasulullah. Dalam sejarah hidup beliau, kita mendapati sosok Nabi bukan hanya sebagai rasul pembawa wahyu, tetapi juga pribadi yang menghadirkan perdamaian, persaudaraan, dan persatuan di tengah masyarakat yang penuh konflik.
Rasulullah SAW adalah pembawa damai. Dalam banyak peristiwa sepanjang perjalanan dakwahnya, beliau selalu menegakkan nilai perdamaian di atas pertimbangan ego pribadi maupun kepentingan kelompok. Piagam Madinah menjadi bukti nyata bagaimana beliau membangun tatanan sosial-politik yang adil dan damai. Nabi tidak mendirikan peradaban dengan permusuhan, melainkan melalui perjanjian, pengakuan hak, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Perjanjian Hudaibiyah: Perdamaian Lebih Utama dari Konflik
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam adalah Perjanjian Hudaibiyah yang sarat hikmah. Sekilas, isi perjanjian itu tampak merugikan kaum Muslimin. Nabi dan para sahabat yang berniat suci menunaikan umrah harus menahan diri dan kembali ke Madinah tanpa memasuki Makkah. Namun, Rasulullah menerimanya dengan penuh kebijaksanaan.
Beliau lebih memilih jalan damai ketimbang mengikuti emosi sesaat atau situasi konflik. Kesabaran Nabi saat itu mengajarkan bahwa perdamaian bukanlah tanda kelemahan, melainkan strategi mulia yang membuka jalan kemenangan lebih besar.
Perdamaian adalah kekuatan moral. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukan terletak pada keberanian berperang, melainkan pada kemampuan menahan diri, memilih dialog, dan meneguhkan kedamaian. Allah berfirman:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al-Anfal [8]: 61)
Keputusan Nabi menerima perjanjian itu terbukti membawa dampak besar. Perdamaian membuka jalan dakwah Islam yang lebih luas, hingga akhirnya kaum Quraisy masuk Islam secara berbondong-bondong. Perjanjian Hudaibiyah membuktikan bahwa menahan diri dari konflik lebih bermanfaat daripada memperturutkan emosi permusuhan.
Hajar Aswad: Kebijaksanaan Nabi Meredam Perselisihan
Teladan lain dari Rasulullah dapat kita lihat dalam peristiwa renovasi Ka‘bah. Saat itu, masyarakat Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya. Perselisihan tersebut hampir menimbulkan pertumpahan darah antarsuku Arab yang merasa memiliki kehormatan lebih tinggi.
Dengan kebijaksanaan, Nabi Muhammad menawarkan solusi sederhana: batu suci itu diletakkan di atas bentangan kain, lalu setiap pemimpin suku bersama-sama mengangkatnya. Rasulullah sendiri akhirnya meletakkan Hajar Aswad di tempatnya. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana beliau menjadi sosok penengah yang mampu meredam konflik, menghadirkan rasa keadilan, sekaligus menyatukan hati banyak pihak.
Relevansi Keteladanan Rasulullah untuk Indonesia
Nilai besar dari teladan Rasulullah tersebut sangat relevan untuk kehidupan kita saat ini. Indonesia sebagai bangsa majemuk kerap dihadapkan pada ketegangan politik, pertarungan kepentingan, dan godaan sektarianisme. Dalam dinamika sosial dan politik, perbedaan sering kali justru dipertajam menjadi alasan untuk saling merendahkan, bahkan memecah belah.
Para pemimpin bangsa—baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat publik—seharusnya bercermin pada keteladanan Nabi Muhammad. Rasulullah mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah alat untuk meneguhkan kepentingan pribadi atau golongan, melainkan amanah untuk menghadirkan maslahat, keadilan, dan persatuan. Ketika pemimpin mengedepankan perdamaian, menumbuhkan kepercayaan, dan merangkul semua pihak, bangsa ini akan semakin kokoh.
Meneguhkan Jiwa Damai di Momentum Maulid
Refleksi Maulid Nabi semestinya mendorong kita semua untuk meneguhkan jiwa damai dan menyatukan umat. Umat Islam, khususnya, hendaknya menjadikan teladan Rasulullah sebagai pedoman untuk menghindari polarisasi dan konflik. Kita tidak boleh larut dalam permusuhan yang melelahkan, melainkan harus menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil-‘alamin—penuh kasih sayang, menentramkan, dan menyatukan.
Jadikan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum untuk memperkuat persaudaraan, menghadirkan perdamaian, dan membangun peradaban yang luhur. Dengan semangat Nabi yang menyatukan, kita bisa menghadapi tantangan kebangsaan dengan arif, sekaligus meneguhkan Indonesia sebagai rumah bersama yang damai, adil, dan bermartabat.***