MAKLUMAT — Ribuan buruh dari berbagai serikat pekerja beserta sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa memadati Simpang Tugu Yogyakarta, titik ikonik kilometer nol, dalam aksi demonstrasi memperingati Hari Buruh Internasional (May Day), Kamis (1/5/2025).
Massa yang mengikuti aksi sejak pagi itu menolak militerisme, serta menuntut peningkatan kesejahteraan pekerja. Massa yang didominasi oleh kaum buruh, mahasiswa, hingga aktivis sosial membawa spanduk bertuliskan “Stop Militarisasi! Upah Layak untuk Keadilan Sosial!” serta poster-poster kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Suasana panas terik tidak menyurutkan semangat para demonstran. Orasi-orasi pembuka menyerukan penolakan terhadap intervensi militer dalam urusan sipil, terutama kasus-kasus ketenagakerjaan yang kerap diwarnai kekerasan.
“Kami menentang segala bentuk represi terhadap buruh, termasuk penggunaan aparat untuk membungkus suara kami,” teriak salah satu koordinator aksi, disambut gemuruh massa.
Dalam aksi tersebut, para buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, seperti DPD KSPSI DIY, DPD SPN DIY, dan FSPM Indonesia, beserta mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya menyuarakan enam tuntutan utama sebagai berikut:
- Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Rp 4 juta;
- Penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merugikan pekerja;
- Perbaikan jaminan sosial dan kesehatan bagi buruh;
- Penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI yang dianggap menghidupkan kembali dwifungsi militer;
- Peningkatan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan dan anak; serta
- Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja.
Menanggapi tuntutan massa aksi, Pemerintah Provinsi DIY melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) menyatakan bakal menampung dan meneruskan aspirasi tersebut.
Aksi berjalan relatif tertib dan aman, meski sempat terjadi sedikit gesekan ketika massa aksi mencoba mendekati kompleks Kantor Gubernur.
Suarakan Penolakan UU TNI
Di sisi lain, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menyuarakan penolakan terhadap UU TNI. Mereka menilai aturan baru tersebut berpotensi membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan dalam urusan-urusan sipil, yang menurutnya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan reformasi yang telah diperjuangkan.
Isu militerisme menjadi sorotan setelah beredarnya wacana penggunaan TNI dalam mengawal proyek-proyek strategis nasional, termasuk kawasan industri. Menurut aktivis Front Perjuangan Rakyat (FPR), hal tersebut berpotensi meminggirkan hak berserikat dan mogok kerja. “Militerisasi hanya akan menguntungkan pemodal dan mengancam demokrasi buruh,” tegasnya.
Tema ini juga diangkat dalam diskusi darurat di tengah aksi, dengan mengutip kasus-kasus kekerasan oleh aparat terhadap buruh di daerah lain. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat, dalam setahun terakhir, terdapat 15 kasus kriminalisasi aktivis buruh di DIY.
Aksi kali ini juga diwarnai dengan pembacaan puisi dan teatrikal yang menggambarkan kesenjangan upah buruh versus gaya hidup elite politik. Salah satu poster besar bertuliskan QS Al-Baqarah 279, yang artinya: “Jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim dan tidak dizalimi,” menjadi pernyataan simbolik tentang keadilan ekonomi.
Hadis riwayat Bukhari juga dikutip sebagai pengingat: “Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering.” Pesan tersebut digaungkan untuk menekankan tanggung jawab negara dan pengusaha dalam memenuhi hak-hak buruh.
Sekitar pukul 15.00 WIB, massa aksi mulai membubarkan diri setelah menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. Koordinator aksi berjanji akan kembali menggelar long march jika tuntutan tidak direspons dalam kurun sepekan ke depan. “May Day bukan sekadar seremonial. Ini perjuangan panjang,” tandasnya.
Aksi tersebut juga memberikan catatan penting, bahwa perlawanan kaum buruh di Yogyakarta tidak hanya tentang upah, tetapi juga tentang mempertahankan hak-hak dasar kemanusiaan di tengah ancaman otoritarianisme.