MAKLUMAT — Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa, mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap ancaman megathrust Jawa yang dapat terjadi kapan saja. Rahma menyampaikan hal ini untuk memperingati 20 tahun tragedi tsunami Aceh.
Ia menegaskan, potensi gempa megathrust Jawa dapat memicu tsunami berskala besar seperti tsunami Aceh,” kata Rahma seperti dikutip dari laman BRIN, Minggu (5/1). Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dari seluruh pihak, termasuk masyarakat dan pemangku kepentingan.
Potensi Megathrust dan Ancaman Tsunami Besar
Hasil riset menunjukkan, segmen megathrust di selatan Jawa—termasuk Selat Sunda—menyimpan energi tektonik besar. Jika dilepaskan, gempa berkekuatan 8,7 hingga 9,1 magnitudo bisa terjadi.
Hal ini memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3–15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di utara Jakarta. “Gelombang tsunami dapat mencapai Jakarta dalam waktu sekitar 2,5 jam,” kata Rahma.
Rahma menambahkan, energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah dan saat ini telah mencapai titik kritis. Para peneliti memperkirakan periode ulang gempa besar di zona ini sekitar 400–600 tahun, dengan kejadian terakhir terjadi pada tahun 1699.
Mitigasi Struktural dan Non-Struktural Jadi Kunci
BRIN menekankan perlunya mitigasi terpadu. Secara struktural, Rahma menyarankan pembangunan tanggul tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang pesisir yang aman minimal 250 meter dari bibir pantai. Solusi berbasis ekosistem seperti penanaman mangrove dan pandan laut juga efektif meredam energi gelombang tsunami.
Pendekatan non-struktural meliputi edukasi masyarakat, simulasi evakuasi, serta pengadaan jalur dan lokasi evakuasi. “Kesiapsiagaan masyarakat sangat penting, termasuk memahami sistem peringatan dini dan langkah evakuasi cepat,” ujar Rahma.
Jakarta dan Kawasan Industri Perlu Perhatian Khusus
Untuk kota seperti Jakarta, dengan tanah yang rentan mengamplifikasi guncangan, penguatan struktur bangunan (retrofitting) adalah prioritas. “Retrofitting bangunan di wilayah padat penduduk dapat mencegah kerusakan besar dan menyelamatkan nyawa,” tegasnya.
Sementara itu, kawasan industri seperti Cilegon menghadapi ancaman tambahan berupa kebakaran akibat kebocoran bahan kimia atau bahan bakar. Standar keamanan di sektor industri perlu diperketat untuk mengurangi risiko bencana sekunder.
Kolaborasi Riset dan Teknologi untuk Sistem Peringatan Dini
BRIN bersama BMKG, KKP, dan institusi lain terus memperkuat sistem peringatan dini tsunami, termasuk pemasangan sensor perubahan muka air laut di kawasan rawan. Rahma mengatakan, teknologi memungkinkan deteksi dini yang dapat mempercepat dan mempermudah proses evakuasi.
Rahma menutup dengan seruan: “Tsunami Aceh adalah pengingat bahwa kesiapsiagaan adalah kunci penyelamatan. Kita tidak bisa memprediksi kapan bencana terjadi, tetapi kita bisa mempersiapkan diri. Edukasi, kolaborasi, dan adaptasi adalah kunci utama mengurangi dampak bencana.”