MAKLUMAT – Setelah Kunjungan Kerja Badan Legislasi ke kantor Gubernur Sulawesi Tenggara, saya menuju bandara Haluoleo Kendari. Saya senang melihat ada Pojok Baca Digital. Namun, sayangnya hampir 2 jam saya mengerjakan berbagai tugas dan berbagai pekerjaan di sini, tak satu pun pengunjung bandara yang merapat ke Pojok Baca Digital tersebut. Ya, kita memang mengalami krisis literasi.
UNESCO menyatakan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia hanya memiliki minat baca. Laporan The World Most Literate Nation Ranking oleh CCSU meletakkan Indonesia di peringkat 60 dari 60 negara dalam urutan literasi. Hasil itu sejalan dengan skor PISA kita tahun 2022 yang berada di angka 359. Kita memiliki selisih 117 poin dari rata-rata negara OECD yang memiliki skor rata-rata 476.
Yang mengejutkan jika kita buat proyeksi, maka kita akan mampu menyamai rata-rata negara OECD pada tahun 2089. Artinya butuh 65 tahun untuk meningkatkan skor literasi kita dengan rata-rata negara OECD.
Selain itu, selama 2 dekade terakhir tren capaian literasi pada laporan PISA mengalami kenaikan kemudian penurunan drastis.
Mulai 371 pada tahun 2000, 382 pada tahun 2003, 393 pada tahun 2006, 402 pada tahun 2009, 396 pada tahun 2012, 397 pada tahun 2015, 371 pada tahun 2018 dan 359 pada tahun 2022.
Artinya, kurikulum dan metode pembelajaran kita sempat menaikkan capaian PISA secara signifikan dari tahun 2000 hingga 2009, kemudian naik turun hingga 2015 dan mengalami penurunan drastis di 2018 seperti skor tahun 200, dan semakin terpuruk di tahun 2022.
Saat ini skor literasi PISA kita terendah sepanjang sejarah. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita jauh tertinggal, dimana Singapura memiliki skor 543, Vietnam 462, Brunei Darussalam 429, Malaysia 388, Thailand 379, Indonesia 359, Filipina 347, dan Kamboja 329.
Kesenjangan Literasi
Di sisi lain kita menghadapi kesenjangan literasi antar provinsi secara signifikan. Misalkan skor Indeks Alibaca Provinsi DKI Jakarta 58,16, DIY 56,2, sedangkan Papua hanya 19,90.
Skor Literasi DKI Jakarta dan DIY relatif unggul di berbagai indikator, termasuk Literasi PISA tahun 2018, dimana DIY meraih skor 411 dan DKI 410.
Kesenjangan tersebut diperkuat oleh Indeks Aktivitas Literasi Membaca tahun2020 yang menempatkan DKI Jakarta dengan skor 85,48 dan Papua hanya 60,51.
Namun, ada penilaian lain yang memberikan hasil kontradiktif dengan berbagai penilaian di atas, yaitu Tingkat Kegemaran Membaca (TGM).
TGM melakukan survei dengan 3 dimensi utama, yaitu frekuensi membaca, durasi membaca, dan jumlah buku yang dibaca. TGM Indonesia mengalami kenaikan dari 26,5 tahun 2016, 36,48 tahun 2017, 52,92 tahun 2018, 53,84 tahun 2019, 55,74 tahun 2020, 59,52 tahun 2021, dan memuncak menjadi 63,9 tahun 2022.
Salah satu tantangan lain adalah sebuah laporan menunjukkan 70% anak Indonesia tidak tahu apa yang dibaca.
Tantangan lain yang kita hadapi adalah 90% penerbit buku di Pulau jawa dan 10% di luar jawab. Dengan jumlah penduduk yang banyak kita hanya memiliki sekitar 22 juta buka. Artinya jumlah buku kita hanya di bawah 10% dari jumlah penduduk.
Rendahnya literasi dan minat baca anak-anak Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya aksesibilitas, overuse of technology, dan budaya literasi.
Mengembangkan Literasi Indonesia
Kita harus melakukan percepatan yang akseleratif dalam mengembangkan literasi Indonesia.
Pertama, kita harus mengubah mindset kita bukan lagi menggelontorkan anggaran besar untuk membangun perpustakaan-perpustakaan baru, melainkan kita harus lebih menghadirkan perpustakaan di ruang-ruang sendi kehidupan bermasyarakat, mulai pasar, terminal, pesawat, bis, kereta api, penjara, kafe, mall, dan lain sebagainya.
Kedua, kita harus melakukan sebuah gerakan literasi yang luwes dan lugas. Misalkan mewajibkan seluruh siswa membaca 15-30 menit sebelum kegiatan belajar mengajar di mulai di pagi hari, serta mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajaran. Bukan lagi sibuk dengan festival-festival literasi yang sifatnya seremonial.
Ketiga, kita harus membangun budaya literasi dengan apresiasi atau penghargaan atas kemajuan literasi peserta didik, membiasakan hadiah berupa buku, jadwal kunjungan rutin ke perpustakaan, membiasakan dan menugaskan anak untuk membaca, melakukan kegiatan menulis setelah membaca atau me-resume buku, serta tidak mendominasi proses pembelajaran dengan menerangkan melainkan dengan memberikan ruang dan penugasan membaca, melaksanakan bedah buku secara rutin, serta melibatkan semua stakeholders dalam membangun tradisi membaca.
Untuk membangun budaya membaca kita harus membangun ‘why‘ atau alasan yang mendorong anak-anak memiliki gairah membaca dan membuat anak-anak haus akan pengetahuan.
Tugas guru, orang tua, dan kita semua bukan sekedar menyampaikan apalagi meneruskan informasi, tetapi menjadi inspirator dan fasilitator anak-anak untuk memiliki minat dan budaya membaca. Mari kita mulai dari rumah dan ruang kelas kita masing-masing.
___________
*) Penulis adalah politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan anggota Komisi X DPR RI 2024-2029