MAKLUMAT — Densus 88 pada Selasa (18/11/25) mengungkapkan bahwa jaringan terorisme merekrut anak-anak di 23 provinsi. Setidaknya ada sekitar 110 anak yang telah teridentifikasi direkrut dari 23 provinsi tersebut. Fakta ini menambah sederet problem di kalangan remaja, mulai dari bunuh diri, pertengkaran, bullying dan keterlibatan pada kejahatan. Ibarat pohon fenomena in dapat dilihat sebagai buah dari kemampuan bangsa dalam pembentukan karakter anak anak sejak usia dini.
Ada sebuah pepatah bahasa Arab yang penuh makna, “Atta’ulumu fis shighori kannaqsi alal hajari, watta’allumu fil kibari kannaqsinalal maai.” Artinya, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, sedangkan belajar di usia tua laksana mengukir di atas air.
Pepatah tua ini bukan sekadar kiasan. Ia adalah peringatan yang relevan sepanjang masa, yang sayangnya masih sering kita abaikan. Ia menggambarkan betapa masa kanak-kanak, khususnya usia dini (0-6 tahun), adalah periode emas (golden age) yang menentukan. Pada fase inilah, selain fondasi kognitif, karakter-karakter esensial untuk kehidupan yang mandiri dan bermanfaat harus mulai dipahat.
Fondasi Otak dan Karakter yang Tak Terbantahkan

Mengapa masa kecil begitu krusial? Ilmu neurosains modern telah membuktikannya. Para ahli dari Harvard University’s Center on the Developing Child menyatakan bahwa pada tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang dengan kecepatan yang luar biasa—lebih dari satu juta koneksi saraf baru terbentuk setiap detiknya. Koneksi inilah yang menjadi fondasi bagi segala kemampuan anak di masa depan: kemampuan kognitif, sosial, emosional, dan bahkan kesehatan fisik.
Investasi di fase ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. James Heckman, peraih Nobel bidang Ekonomi, melalui penelitiannya yang terkenal dengan “Heckman Curve,” membuktikan bahwa investasi di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang berkualitas memberikan return on investment (ROI) tertinggi.
Setiap satu dolar yang diinvestasikan dapat menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi senilai 7 hingga 12 dolar. Manfaat ini terlihat dari peningkatan prestasi akademik, pendapatan yang lebih baik, dan penurunan angka kriminalitas.
Enam Pilar Karakter untuk Kehidupan yang Mandiri dan Bermanfaat
Lantas, karakter seperti apa yang perlu “diukir” pada fase emas ini agar anak siap menghadapi masa depan? Berdasarkan kajian pendidikan karakter dan psikologi perkembangan, setidaknya ada enam pilar utama:
- Regulasi Diri (Self-Regulation) dan Ketangguhan (Resilience): Kemampuan untuk mengelola emosi, menunda kepuasan, dan bangkit dari kegagalan. Karakter ini adalah fondasi dari kemandirian emosional. Dr. Angela Duckworth, dalam bukunya “Grit: The Power of Passion and Perseverance“, menekankan bahwa kegigihan dan ketangguhan lebih penting daripada bakat alam dalam meraih kesuksesan jangka panjang. Karakter ini bisa dilatih sejak dini melalui permainan aturan dan menghadapi tantangan yang sesuai usia.
- Rasa Ingin Tahu (Curiosity) dan Kreativitas: Dunia yang berubah cepat membutuhkan pemecah masalah yang kreatif. Rasa ingin tahu adalah mesin penggerak belajar sepanjang hayat. Sir Ken Robinson, ahli pendidikan ternama, dalam pidatonya yang mendunia “Do Schools Kill Creativity?” menegaskan bahwa kita harus memelihara kreativitas alami anak-anak, bukan menumpasnya. PAUD harus menjadi taman yang merangsang eksplorasi dan pertanyaan “mengapa?”
- Kecerdasan Sosial dan Empati: Kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan memahami perasaan orang lain. Ini adalah dasar untuk hidup bermasyarakat dan menjadi pribadi yang bermanfaat. Daniel Goleman, dalam bukunya “Emotional Intelligence,” menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) seringkali lebih menentukan kesuksesan hidup daripada IQ. Bermain peran (role-play) dan proyek kelompok di PAUD adalah sarana efektif untuk melatihnya.
- Integritas dan Kejujuran: Menanamkan nilai benar dan salah, serta keberanian untuk berkata dan berbuat jujur, adalah pondasi karakter yang kokoh. Thomas Lickona, dalam “Educating for Character,” menyebutkan bahwa pendidikan karakter yang efektif dimulai dengan peneladanan dari orang dewasa dan menciptakan lingkungan yang menghargai kejujuran.
- Kemandirian (Independence) dan Rasa Tanggung Jawab: Membiasakan anak menyelesaikan tugas sederhana sesuai usianya (misal: membereskan mainan, memakai sepatu sendiri) membangun kepercayaan diri dan tanggung jawab. Maria Montessori, melalui metode Montessori, menekankan pentingnya “Help me to do it myself” (Bantu aku melakukannya sendiri). Filsafat ini memberdayakan anak dan membangun kemandirian sejak dini.
- Rasa Hormat dan Kasih Sayang: Menghormati orang tua, guru, teman, dan lingkungannya. Karakter ini adalah akar dari menjadi pribadi yang bermanfaat dan beretika dalam masyarakat.
Tantangan di Negeri Kita: Antara Kesadaran dan Realita
Di Indonesia, meski kesadaran akan pentingnya PAUD semakin tumbuh, tantangan besar masih menganga. Banyak lembaga PAUD, terutama di daerah, masih bergulat dengan keterbatasan. Fokus seringkali hanya pada calistung (baca, tulis, hitung) yang dipaksakan, alih-alih pada penanaman karakter melalui bermain. Yang paling memprihatinkan adalah masih adanya paradigma yang memandang guru PAUD sekadar sebagai “pengasuh”, yang berimplikasi langsung pada kesejahteraan dan kualitas pelatihan mereka.
Seruan untuk Aksi: Peran Kita Semua
Pepatah Arab tadi mengingatkan kita untuk peduli. Kepedulian itu harus diwujudkan dalam aksi nyata dari semua pihak:
- Orang Tua: Jadilah model karakter yang ingin ditanamkan. Beri kesempatan pada anak untuk mandiri, jangan over-protective. Bacakan cerita yang mengandung nilai-nilai moral.
- Lembaga Pendidikan (PAUD): Kurikulum harus berfokus pada pembentukan karakter melalui bermain. Lingkungan belajar harus dirancang untuk menstimulasi rasa ingin tahu, kerja sama, dan kemandirian, bukan sekadar mendrill calistung.
- Pemerintah Daerah dan Nasional: Kebijakan dan anggaran harus mendukung pelatihan guru yang berfokus pada pedagogi penanaman karakter, serta menyediakan APE yang mendukung perkembangan sosial-emosional anak, bukan hanya kognitif.
Sebuah Pilihan Sejarah
Pada akhirnya, kita sedang memahat masa depan bangsa ini. Kualitas generasi penerus 20 hingga 30 tahun mendatang sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan untuk anak-anak usia dini hari ini. Kita memiliki dua pilihan: membiarkan mereka tumbuh tanpa fondasi yang kokoh, atau bersatu padu mengukir mereka dengan penuh cinta dan ilmu, menjadi manusia-manusia unggul yang akan membawa Indonesia lebih maju.
Tujuan PAUD bukanlah mencetak anak yang hanya pandai secara akademis, tetapi membentuk manusia utama yang berkarakter: mandiri, tangguh, kreatif, empatik, dan bertanggung jawab.
Mari kita pilih untuk menjadi pemahat peradaban yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena masa kecil yang penuh dengan sentuhan karakter yang positif adalah janji untuk masa depan Indonesia yang lebih gemilang dan manusiawi.
Jakarta 19 November 2025