MAKLUMAT — Dalam momentum Iduladha 1446 H/2025, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir MSi, mengajak umat Islam untuk menengok kembali esensi terdalam dari ibadah kurban. Bukan semata ritual penyembelihan hewan, namun sebuah proses penyucian diri dan pembebasan jiwa dari jerat nafsu kepemilikan duniawi.
Menukil Surat Al-Hajj ayat 37: “Lan yanala Allaha luhumuha wa la dima’uha wa lakin yanāluhut-taqwā minkum (Daging dan darah itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian).”
Menurut Haedar, ayat tersebutlah yang patut menjadi kunci perenungan. Ia menekankan, kurban sejatinya adalah simbol spiritual untuk melepas keterikatan pada harta, kuasa, dan kenikmatan dunia yang fana. Apa yang kita miliki—dari kekayaan, jabatan, hingga popularitas—tidak ada yang mutlak milik kita. Maka, Allah memerintahkan: ‘berkurbanlah‘.
“Maka makna terdalamnya apa yang kita miliki dalam kehidupan ini baik harta, kekuasaan, dan segala kesenangan yang kita peroleh sebenarnya nisbi, maka Allah SWT mengajarkan pada kaum beriman ‘berkurbanlah’ manfaatkan harta dan segala hal duniawi itu untuk kepentingan beribadah dan kemaslahatan orang banyak bukan untuk dimiliki, ditumpuk-tumpuk bahkan dengan rasa rakus ingin hidup serba gelimang duniawi,” ujar Haedar, dalam keterangannya pada Kamis (5/6/2025).
Haedar menerangkan, ibadah kurban telah mengajarkan kita untuk melepas apa yang kita miliki, maka sejatinya mereka yang berkurban sudah terbebaskan jiwa, hati, pikiran, rasa, dan segala apa yang ia miliki lillahi ta’ala untuk meraih ridha dan karunia Allah SWT.
Ia menyebut, manusia memiliki hasrat ingin menguasai segalanya. Harta, kekuasaan, segala pesona dunia takkan pernah merasa puas bahkan dengan cara yang tidak halal yakni dengan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala perilaku yang menunjukkan ketamakan.
“Manusia yang rakus, dengan segala pesona duniawi, Ia tidak akan pernah cukup sampai tuhan menghentikan ajalnya al-hâkumut-takâtsur, ḫattâ zurtumul-maqâbir,” sebut pria yang juga Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Maka, lanjutnya, di sinilah penting setiap orang beriman di mana pun posisi dan berada, disaat berkurban maupun tidak berkurban, mengkoreksi diri apakah kita termasuk orang beriman tetapi tak pernah puas dalam kehidupan, lalu menjadi insan yang serakah, tamak, takabur, dan penuh ambisi yang melampaui batas lalu lupa akan kebenaran, kebaikan, dan nilai-nilai luhur dalam fondasi ketakwaan.
“Lepas segala kepentingan demi kebenaran, kebaikan, dan keluhuran, dan untuk kemaslahatan hidup orang banyak. Jika itu bisa dipenuhi, maka berkurban berarti telah membebaskan kita dari segala pesona duniawi itu untuk hidup yang cukup dan moderat tetapi membawa kemaslahatan duniawi dan ukhrawi,” tandas Haedar.