MAKLUMAT — Gelombang air yang meluncur dari hulu Sumatera kembali mengingatkan bahwa pulau itu menyimpan sejarah panjang kebencanaan. Arus deras membawa kayu, lumpur, dan bongkahan tanah menerjang permukiman warga tanpa ampun.
Peristiwa pada akhir November 2025 itu tampak hadir tiba-tiba. Padahal akarnya tersusun dari lapisan geologi, dinamika iklim, hingga perubahan ekologis yang berlangsung puluhan tahun.
Dalam diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (4/12/2025), dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., mengurai bahwa struktur geomorfologi Sumatera membuat wilayah ini selalu berada di jalur bahaya. Deretan Bukit Barisan, dari Aceh hingga Lampung, membentuk lereng terjal yang mengalirkan air langsung ke dataran rendah. Di kaki-kaki lereng itu berdiri kipas vulkanik—area yang kini banyak ditempati masyarakat. Sekali hujan turun deras, jalur alami ini bekerja seperti lorong percepatan: air meluncur cepat sambil menyeret material berat.
“Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujar Hatma melansir laman UGM.
Namun persoalan tidak berhenti pada faktor alam. Hatma menegaskan bahwa banjir bandang yang membawa potongan kayu dan sedimen tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang terus menurun. Pembukaan lahan di hulu, permukiman yang merangkak naik ke daerah tinggi, hingga perubahan fungsi hutan memperbesar limpasan permukaan. Tanpa hutan, tanah kehilangan daya tahan air. Limpasan meningkat, debit puncak melonjak.
“Para pihak yang menjadi kontributor dosa ekologis itu sudah saatnya berhenti,” tegasnya.
Secara alami, hutan mampu menahan sepertiga curah hujan di tajuk, dan lebih dari separuhnya meresap ke tanah sebelum mencapai permukaan. Ketika tutupan berkurang, seluruh volume air bergerak serentak menuju sungai. “Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” ucap Hatma.
Pendapat itu diamini Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Baginya, perubahan iklim memperbesar risiko yang secara alami sudah tinggi. Kenaikan suhu global 1,55°C membuat frekuensi hujan ekstrem meningkat. Prediksi menunjukkan suhu bisa melonjak hingga 3,5°C pada akhir abad bila tidak ditekan. Dengan curah hujan ratusan milimeter per hari, sistem hidrologi Sumatera tidak lagi mampu meredam laju air.
“Kalau mitigasi ekologinya dilewatkan, kita bisa musnah,” kata Dwikorita.
Ia juga menilai struktur geologi Sumatera sangat labil. Batuan hasil tumbukan lempeng yang terangkat dari dasar laut berada dalam kondisi retak-retak. Dalam situasi ini, guncangan kecil pun cukup memicu longsor. Longsoran kemudian menyumbat sungai, membentuk bendungan alami yang sewaktu-waktu bisa jebol.
“Retakan-retakan itu membuat wilayah ini sangat rentan terhadap gerakan tanah,” ujarnya.
Di luar itu, anomali siklon tropis yang makin sering muncul memperberat keadaan. Siklon yang biasanya tidak menembus zona tropis, kini muncul di wilayah Indonesia dan melintasi daratan sambil membawa hujan intens berhari-hari.
Pola ulang bencana pun memendek—yang dulu puluhan tahun, kini bisa hanya hitungan tahun. “Siklonnya tidak lagi patuh pada jalurnya, dan ini anomali yang semakin sering muncul,” kata Dwikorita.
Ia menyebut gejala ini bukan peristiwa tunggal. Setelah Siklon Seroja dan Cempaka beberapa tahun silam, pola siklon semakin menunjukkan perilaku di luar pakem—melintas daratan, bertahan lebih lama, dan tumbuh di wilayah yang sebelumnya tidak memungkinkan.
Kemunculan Siklon Senyar menegaskan perubahan itu: tumbuh di area tak lazim, melintas daratan Sumatera, hingga mencapai Semenanjung Malaya. “Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” tutupnya.
Serangkaian fakta ini memperlihatkan satu kenyataan: Sumatera berada di persimpangan antara bentang alam yang rapuh, perubahan iklim yang kian menggila, dan intervensi manusia yang merusak.
Ketika ketiga faktor itu saling bertemu, bencana bukan lagi soal kemungkinan—melainkan kepastian yang tinggal menunggu waktu.***