MAKLUMAT — Pukul 11.00 WIB, kami mengikuti sebuah sesi diskusi budaya yang berbeda dari biasanya. Bertempat di sebuah ruang diskusi yang sederhana namun hangat, kami duduk berhadapan langsung dengan seorang tokoh budayawan senior, membicarakan karya-karya sastra Jawa klasik yang adiluhung. Suasana tenang, tembok dihiasi lukisan dan topeng khas Jawa, seolah turut menjadi saksi percakapan kami yang sarat makna.
Hari itu, kami tidak sekadar belajar sejarah atau membaca teks. Kami menyelami nilai-nilai yang hidup dalam karya-karya besar seperti Serat Wedhatama, Kalatidha, Centhini, Wulangreh, dan Tripama. Setiap judul membawa dimensi tersendiri, tidak hanya sebagai sastra, tetapi sebagai cermin kehidupan yang mengajarkan banyak hal. Diskusi ini bukan sekadar analisis akademik, tapi perenungan mendalam tentang bagaimana para leluhur menanamkan ajaran luhur dalam bentuk yang sangat halus namun kuat.
Serat Wedhatama menjadi pintu awal diskusi kami. Karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV ini sarat dengan ajaran moral, etika, dan spiritualitas. Kami diajak memahami pentingnya ngelmu kasampurnan—ilmu untuk mencapai kesempurnaan batin. Wedhatama mengajarkan bahwa hidup bukan hanya mengejar dunia, tetapi merawat hati dan batin agar tetap jernih. Di tengah zaman yang serba cepat, ajaran ini menyadarkan kami akan pentingnya kembali pada keheningan dan kesederhanaan. Kami merasa seperti sedang bercermin, melihat kembali orientasi hidup kami selama ini.
Berlanjut ke Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, suasana diskusi menjadi lebih reflektif. Serat ini ditulis di masa kolonial, dan menggambarkan kegelisahan sosial-politik serta merosotnya nilai-nilai moral di masyarakat. Sindiran Ranggawarsita tentang “zaman edan” terasa begitu relevan dengan keadaan hari ini. Kami merasa bahwa suara dari masa lalu itu belum benar-benar padam. Justru makin keras terdengar saat ini. Bahwa kegaduhan, kebingungan, dan kehilangan arah yang kita rasakan dalam kehidupan modern ternyata sudah lama disuarakan, dalam bahasa yang sangat puitis namun tajam.
Kemudian kami masuk ke dunia Serat Centhini—yang disebut-sebut sebagai ensiklopedia Jawa. Kami begitu kagum ketika mengetahui bahwa serat ini bukan hanya cerita perjalanan, tetapi juga memuat ajaran agama, filsafat, etika, hingga pengetahuan tradisional seperti pengobatan dan kuliner. Serat Centhini mengajarkan bahwa hidup itu luas dan menyeluruh, bahwa spiritualitas bisa hadir dalam keseharian, dari doa sampai dapur, dari perjalanan batin hingga ilmu obat. Serat ini membuat kami sadar bahwa warisan budaya kita begitu kaya, menyentuh berbagai aspek kehidupan yang sering kali kita lupakan.
Diskusi berlanjut ke Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV yang membahas etika dan sopan santun dalam kehidupan sosial. Kami merenungkan pentingnya unggah-ungguh dan budi pekerti, dua hal yang mulai mengabur di tengah budaya digital dan pergaulan bebas. Kami merasa tersentuh dengan ajaran-ajaran yang mengingatkan agar manusia tidak hanya cerdas otak, tetapi juga luhur sikap dan ucapannya.
Di bagian akhir, kami membahas Serat Tripama karya Mangkunegara IV yang mengangkat keteladanan tokoh wayang seperti Sumantri, Kumbakarna, dan Karna. Ketiganya bukan tokoh sempurna, namun justru dari kekurangan dan pengorbanan mereka, kami belajar tentang keberanian, kesetiaan, dan integritas. Dalam diskusi, kami diajak memikirkan ulang: siapa panutan kita hari ini? Masihkah ada tokoh dengan keteguhan seperti mereka dalam masyarakat modern?
Sesi ini bukan sekadar ruang baca atau seminar budaya. Bagi kami, ini adalah perjalanan spiritual dan intelektual untuk mengenal diri, sejarah, dan masa depan. Kami pulang membawa catatan, tapi yang paling penting: kami pulang membawa kesadaran baru. Bahwa menjaga budaya bukan sekadar menghafal sejarah, tapi menghidupkannya dalam sikap dan tindakan. Bahwa menjadi muda bukan alasan untuk tercerabut dari akar.
Kami menyadari, ajaran-ajaran dalam serat itu bisa menjadi penuntun arah hidup, penyejuk di tengah kebisingan zaman, dan jembatan menuju masa depan yang tetap berpijak pada nilai-nilai luhur. Hari itu, di ruangan yang sederhana dan penuh makna, kami belajar satu hal penting: bahwa warisan terbesar dari para leluhur bukanlah bangunan atau jabatan, melainkan nilai-nilai kehidupan yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang sejati.