MAKLUMAT — “Tut Wuri Handayani” bukan sekadar jargon dalam dunia pendidikan Indonesia. Ini adalah panggilan jiwa, warisan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yang merangkum semangat besar dalam tiga kalimat: Ing ngarsa sung tulada — di depan memberi teladan; Ing madya mangun karsa — di tengah membangun semangat; dan Tut wuri handayani — di belakang memberi dorongan dan motivasi.
Filosofi ini menuntun kita membangun pendidikan yang memanusiakan, membebaskan, dan menggali potensi anak-anak dari dalam. Semboyan ini menjadi pondasi utama pendidikan kita. Guru—bersama sekolah, orang tua, dan masyarakat—adalah sosok yang seharusnya digugu lan ditiru, dipercaya ucapannya, dan dicontoh perilakunya. Dari keteladanan merekalah, benih pendidikan karakter tumbuh: kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab. Tanpa keteladanan, integritas hanyalah kata kosong. Moral tanpa contoh nyata hanya jadi wacana yang cepat hilang.
Karakter bangsa Indonesia mencerminkan nilai luhur Pancasila dan kearifan lokal. Religiusitas, kejujuran, toleransi, disiplin, hingga kerja keras membentuk identitas kolektif yang kita warisi dan wajib dijaga. Ini bukan sekadar nilai bagus di atas kertas, tapi landasan hidup yang menentukan masa depan bangsa.
Pesan itu tersirat dalam Ngobrol Asyik Sarapan (Ngobras) bersama Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, yang melibatkan guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan di Istana Gebang, Kamis (15/5/2025). Forum dialog santai ini membuka ruang bagi insan pendidikan Kota Blitar untuk menyampaikan aspirasi dan ide, sekaligus mensosialisasikan program terbaru pemerintah demi pendidikan yang adaptif dan berkualitas.
Namun, ada hal penting yang terselip dari acara ngobras tersebut: anak-anak kita akan menghadapi era penuh tantangan—krisis iklim, ketimpangan sosial, perkembangan teknologi yang makin cepat, hingga ancaman korupsi. Pendidikan dasar—SD dan SMP—harus menyiapkan mereka tidak hanya agar cerdas secara akademik dan religius, tapi juga tangguh, adaptif, inovatif, dan berintegritas. Sepuluh kecakapan abad ke-21 bukan daftar futuristik, melainkan kebutuhan nyata hari ini:
- Literasi digital. Anak-anak kita harus bisa memilah informasi, memahami etika digital, dan menolak penyebaran hoaks. Pendidikan bukan hanya soal membatasi penggunaan gadget, tapi membentuk warga digital yang jujur dan bertanggung jawab.
- Berpikir kritis dan pemecahan masalah. Anak bukan hanya penghafal, melainkan penanya. Melatih mereka menilai, menganalisis, dan bertindak berdasarkan alasan yang kuat adalah vaksin ampuh melawan manipulasi dan kebohongan.
- Kemampuan komunikasi. Menyampaikan pendapat dengan jelas dan sopan adalah bekal untuk hidup dalam demokrasi yang sehat—tempat di mana perbedaan dihargai dan empati terbangun.
- Adaptasi dan fleksibilitas. Dunia berubah cepat, dan pendidikan harus mengajarkan anak untuk siap menghadapi ketidakpastian dengan daya lenting, bukan kekakuan.
- Kolaborasi dan kerja tim. Dalam krisis kepemimpinan dan budaya saling curiga, kemampuan bekerja bersama adalah nafas baru. Anak belajar kejujuran, tanggung jawab, dan berbagi tugas—nilai yang jauh dari mental korupsi.
- Kecerdasan emosional. Pendidikan tidak boleh hanya mengisi otak, tapi juga membentuk hati. Anak harus belajar mengenal dan mengelola emosi, berempati, serta menghindari kekerasan.
- Pola pikir kewirausahaan. Mini market day atau simulasi jual beli bukan hanya soal uang, tapi soal membangun kepercayaan dan kreativitas sejak dini.
- Literasi data. Anak-anak perlu belajar membaca kenyataan melalui angka—menyadari fakta sosial tanpa manipulasi.
- Dasar coding dan teknologi. Logika dan pemecahan masalah yang diajarkan lewat coding melatih cara berpikir sistematis—bekal penting di dunia modern.
- Kesadaran keberlanjutan. Krisis iklim dan ketahanan pangan adalah kenyataan saat ini, bukan masa depan. Pendidikan dasar harus mengajarkan anak menanam, menjaga lingkungan, dan memahami rantai makanan.
Membangun karakter bangsa bukan tugas mudah, tapi kunci masa depan. Pendidikan dasar adalah fondasi yang tak boleh retak. Semangat Tut Wuri Handayani menuntut guru tidak hanya membimbing dari belakang, tapi memberi teladan dari depan.
Pendidikan antikorupsi, kesadaran lingkungan, dan kecakapan abad ke-21 harus dijalin dalam praktik sehari-hari, bukan sekadar beban kurikulum. Proyek sosial, menanam sayur di sekolah, dan mengkritisi berita bohong adalah pintu masuk membentuk generasi tangguh, jujur, dan kreatif.
Tugas kita bukan semata meluluskan anak dari ujian, tapi menyiapkan jiwa-jiwa tangguh yang sanggup menghadapi krisis iklim, bertahan di tengah rawan pangan, dan menolak godaan korupsi dengan nurani yang tegak. Di sanalah masa depan bangsa dipertaruhkan—dan harapan ditanam.