MAKLUMAT – Tren agnostik dan spiritualisme sedang merebak di kalangan anak muda. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikdasmen) RI, Abdul Mu’ti, fenomena ini bukan karena salah agama, melainkan karena cara pendakwah yang kurang menyesuaikan diri dengan realitas sosial generasi muda.
“Sekarang ini bukan lagi soal agama formal, tapi lebih ke spiritualisme. Mereka tetap percaya ada sesuatu yang lebih besar, tapi tidak harus terikat pada agama tertentu,” ujar Mu’ti, yang juga Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Mu’ti merujuk pada data PEW Research Center 2015 yang menunjukkan bahwa pengikut agnostik dan ateis berada di peringkat ketiga dan keempat terbanyak di dunia. Fenomena ini, menurutnya, terkait dengan cara dakwah yang lebih banyak menuntut umat untuk mendengar, sementara generasi muda justru ingin didengar.
“Dakwah ke anak muda seharusnya lebih kontekstual, menyesuaikan dengan kehidupan mereka. Jangan sampai menggurui, karena kadang pesan yang disampaikan tidak nyambung dengan dunia mereka,” tutur Guru Besar Pendidikan Agama Islam ini.
Mu’ti menekankan, kunci keberhasilan dakwah adalah empati dan kedekatan. Ia mencontohkan model dakwah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang dekat dengan anak muda dan mampu menyampaikan pesan dengan cara yang natural.
Secara praktis, Mu’ti menyarankan agar agama hadir sesuai minat dan bakat anak muda. Pendekatan ini tidak harus melalui ceramah panjang, tapi bisa melalui kebiasaan sehari-hari yang membentuk mental dan karakter.
“Allah mengutus Rasul dengan bahasa kaumnya. Kita pun harus menyesuaikan cara berdakwah agar pesan agama bisa masuk dengan baik tanpa membuat generasi muda merasa dijauhi,” kata Mu’ti.
Dengan pendekatan yang lebih mendengar dan menyatu dengan kehidupan anak muda, diharapkan pesan agama tidak hanya sampai, tapi juga membekas dan relevan dalam kehidupan sehari-hari.***