MAKLUMAT — Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, menuai kontroversi usai menerapkan kebijakan terkait pembinaan terhadap siswa yang dianggap problematik. Kebijakan yang diimplementasikan sejak tanggal 2 Mei 2025 ini diperuntukkan bagi para siswa SMP, SMA/SMK, atau setaranya. Ada sekitar 30 sampai 40 barak khusus yang dipersiapkan oleh TNI. Nantinya peserta program akan dipilih sesuai kesepakatan antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Menurut Dedi, Pembinaan yang dilakukan di barak militer ini akan dilakukan selama 6 bulan.
Sejumlah pakar pendidikan anak hingga politisi reaktif akan hal ini. Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI, menanggapi kalau kebijakan yang dilakukan Gubernur Jabar ini berpotensi merusak karakter siswa, dan juga metode pendidikan yang diterapkan TNI tidak sesuai dengan pertumbuhan karakter Siswa.
Adapun politisi kondang DPD PDIP Jabar, Ono Surono, menanggapi bahwa kebijakan pembinaan siswa ke barak militer ini tak sesuai dengan RPJMD Jabar. Seharusnya kebijakan yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi harus selaras dengan RPJMD yang itu juga sesuai dengan visi, misinya.
Jika ditelaah secara kaidah kebijakan publik, memang adanya pro dan kontra dari implementasi kebijakan merupakan hal yang biasa. Apalagi dilakukan di negara dengan sistem demokrasi. Tetapi dalam kaidah implementasi kebijakan publik perlu dikaji lebih mendalam lagi mengenai rumusan kebijakan. Secara perspektif teoritis rumusan kebijakan publik yang ada di Indonesia, khususnya pada studi kasus kebijakan pembinaan siswa nakal ke barak militer, setidaknya dalam koridor rumusan kebijakan melalui tiga tahapan, di antaranya formulasi, implementasi, dan evaluasi.
Dalam segi implikasi, kebijakan pembinaan ke barak militer akan dirasakan oleh siswa-siswa yang menjadi peserta. Berdasarkan berita yang bertebaran, bahwa ada sejumlah siswa yang merespon secara positif akan metode pendisiplinan yang ada di barak militer. Tak cuma siswa, orang tua siswa banyak juga yang merasakan dampak positif dan menyambut baik kehadiran program pendisiplinan bentuk militer. Ada juga orang tua yang menilai secara negatif, hingga melaporkan ke Mahkamah konstitusi (MK). Orang tua dan siswa, merupakan pihak yang merasakan dampak signifikan akan program tersebut. Namun, jagat publik ada juga yang ikut menilai secara pro maupun kontra.
Menurut penulis, tampakanya, Dedi Mulyadi dan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jawa Barat perlu untuk melakukan evaluasi kebijakan dari implikasi kebijakannya secara transparan, agar publik memahami betul sehingga meminimalisir konflik vertikal dan horizontal pada ranah publik di dunia digital dan dunia maya.
Adanya konflik dunia digital dan dunia maya di Indonesia, tak sedikit menimbulkan efek fluktuatif. Apalagi konflik yang ada berkaitan dengan politik merujuk kepada elit politik dan massa (rakyat) banyak studi kasus bahwa masyarakat negara demokrasi mudah mengalami dikotomi kendali perihal perkara berbeda pandangan politik. Mirisnya, konflik yang terjadi menyinggung Suku, Agama, Ras dan Adat (SARA). Hal ini mungkin dapat diminimalisir oleh pemangku kebijakan publik, agar dampak impementasi kebijakannya bernilai destruktif, atau mungkin konstruktif.
Kebijakan Gubernur Jabar: Antara Destruktif dan Konstruktif
Dalam proses perumusan kebijakan publik, perlu untuk melibatkan rakyat, dalam konteks ini yang berwenang merupakan DPRD Provinsi Jawa Barat. Ternyata, Dedi ketika merumuskan kebijakan menyerahkan siswa ke barak militer tidak melibatkan unsur perwakilan rakyat khususnya DPRD. Menurut Zaini Shofari, Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, menyoroti program tersebut akan tidak ada pembahasan di DPRD Jabar, dan hanya diumumkan melalui media sosial pribadi Gubernur.
Hal ini tentu menjadi PR besar Gubernur Jawa Barat tersebut, karena bagaimana pun juga sebagai eksekutif harus melibatkan legislatif dalam perumusan sebuah kebijkan, jika tidak maka akan melanggar UU UU No. 15 Tahun 2019 Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah menentukan bahwa pembentukan peraturan perundang undangan meliputi pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Sebagai eksekutif, Dedi harusnya menaati konsiderat, jangan sampai ada gebrakan kebijakan yang menegasikan UUD. Apalagi saat ini ia menjadi cerminan masyarakat Jawa Barat, dengan enerjik mengarahkan warganya agar menaati peraturan, tetapi ia sendiri tak menaati konsiderat UUD, sungguh blunder. Tak cuma itu saja, Gubernur Jabar tersebut dapat mencederai nilai-nilai nasionalisme dan demokrasi bila tak mengevaluasi proses pembuatan kebijakannya. Bahkan nantinya kebijakannya bisa bersifat destruktif. Secara teori, program penggemblengan disiplin ke barak militer ala Gubernur Jawa Barat tersebut memiliki antitesa daripada Teori Paulo Freire, menurutnya pendidikan itu harus terbelenggu dari rasa ketakutan atas sesuatu hal yang sifatnya sistem pengekangan. Sehingga karakter dari siswa murni tercipta atas kondisi yang alamiah dan berorientasi pada perkembangan.
Sebagaimana Freire khawatir dengan metode pendidikan yang mengekang akan memunculkan dehumanisasi untuk mereka yang tertindas oleh mereka yang overpower. Mereka yang tertindas yaitu siswa, sedangkan yang menindas ialah sistem yang diciptakan oleh instansi militer.
Adapun dengan metode pendidikan yang mengekang akan melahirkan karakter siswa yang tidak alamiah, ia hanya dipersiapkan menjadi budak korporat kapitalisme industri. Dan mereka tidak akan maksimum menjadi SDM yang berkualitas. Dan juga proses belajar seperti itu akan membentuk karakter, tingkah laku, dan cara berpikir sesuai dengan pengalaman belajar mereka.
Hal itu tentu akan berbahaya bagi pribadi karakter mereka, karena secara tidak langsung mereka akan terbiasa dengan instruksi-instruksi oleh seseorang atau sistem yang memiliki kekuatan lebih daripada mereka, padahal belum tentu yang memiliki kekuasaan lebih itu memiliki tujuan yang benar. Namun, ada kalanya program tersebut bernilai kontruktif, karena metode yang dipakai ialah pendisiplinan positif, yaitu konsep pendisiplinan yang memiliki aturan sejalan dengan pendidikan dan bimbingan karena menekankan pertumbuhan internal, disiplin diri dan kontrol individu yang akan melahirkan motivasi dari dalam.
Perlu kiranya orangtua merefleksikan kesiapan mereka, dan bimbingan mereka terhadap anaknya sekaligus menyiapkan untuk di sekolahkan. Terkadang, orang tua ingin anaknya bersekolah agar secara kognitif dapat meningkat, tetapi secara psikomotorik dan afektif tidak terlalu diperhatikan. Padahal kognitif, psikomotorik, dan afektif, merupakan trisula utama dalam belajar dan perkembangan individu. Konteks kognitif, psikomotorik, dan afektif, kiranya perlu untuk ditelaah lebih lanjut oleh pemangku kebijakan ketika hendak melaksanakan program-program yang berkaitan dengan perkembangan individu pembelajar.
Jangan sampai program yang diadakan hanya menekankan salah satu aspek saja, sehingga aspek lainnya terpinggirkan. Pemerintah juga perlu untuk menjalankan proses demokratisasi dalam konteks ini ialah musyawarah antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Agar program yang dijalankan berjalan sesuai dengan koridor UU UU No. 15 Tahun 2019 Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011.